Prolog:

9.1K 171 8
                                    


Malam ditemani setumpuk buku-buku, ia duduk termenung di atas kasur dan mulai mengabaikan buku psikologi jurnalistik digengamannya. Kini pikirannya mengembara pada memori seminggu yang lalu. Percakapan dengan ayah dan ibunya lewat telepon. Mengingat ucapan sang ayah semangatnya seakan runtuh seketika. Walau belum pasti namun kata-kata dari kedua orang tuanya membuatnya  tak tenang. Apalagi mengingat percakapan terakhir ibunya tadi sore.

"Assalamualaikum, Sahla anakku, dengarkan ibu. Kamu bisa kan pulang? Bagaimanapun kita harus membicarakan hal ini makanya ibu dan ayah berharap kamu cepat pulang. Izin dulu lah sebentar nak. Yasudah pokonya ibu ingin kamu tidak menunda waktumu, ini untuk kebaikanmu juga.Pikirkan baik-baik ya."

Sekali lagi, ia menghela nafas panjang mengingatnya. Jujur ia bingung dengan sikap ayah dan Ibu yang tampak mendesaknya. Sungguh ia belum siap untuk mengikuti keinginan kedua orang tuanya. Mengingat ia masih sibuk kuliah. Bukan hanya itu Ia merasa dirinya masih teramat muda, polos, lugu, bahkan belum memikirkan masa depannya hingga ketahap itu. Seketika matanya melirik sebuah kertas yang ia tempel di pintu lemarinya. Ia ambil kertas itu.

Sepuluh point yang tertera dalam kertas itu mengingatkan pada dambaannya selama ini, yang membuatnya begitu bahagia ketika lulus dalam tes masuk kuliah, lalu kini duduk di bangku kuliah jurusan jurnalistik "broadcast jurnalism". Jembatan yang akan mengantarkannya pada impian sejak SMP. Menjadi seorang wartawan professional. Sudah amat terbayang dalam benaknya betapa ia akan mengapresiasikan bakatnya selama ini dalam pemikiran, tulisan maupun sebuah tindakan.

Sebagaimana dulu saat ia memasuki jenjang SMA menjadi salah satu redaktur mading dan majalah sekolah. Tak terbayang jika angan-angannya terhempas, semangatnya padam karena harus menuruti keinginan kedua orang tuanya. Walau ia belum memutuskan apa-apa. Karena begitu sulit rasanya untuk memenuhi kehendak ayah yang begitu ia sayangi. Dan kedua orang tuanya telah menunggunya, menunggu kepastian darinya. Bukan hanya orang tuanya, namun seseorang yang entah ia pun tak tau siapa, yang seakan ingin merusak impiannya pun menunggu kepastian darinya.

Begitu singkatkah masa kebebasannya menjadi seorang mahasiswi? Apakah harus mengubur angan-angan itu hingga sampai disini? Apakah bisa seorang Sahla yang masih amat polos dapat hidup dalam satu ikatan yang akan membawanya pada pusaran kehidupan yang amat jauh berbeda? Ohh... sungguh tak terbayang jika semua itu terjadi. Pikirannya melayang hanya pada satu statement yakni mungkin impiannya akan terkubur seketika hanya karena harus memenuhi lamaran dari seseorang laki-laki asing. Ia tak ingin itu terjadi. Sungguh terlalu cepat untuknya. Kenapa pula ayah dan ibunya tak menolak atau menunda lamaran itu dan malah mendukung, haduuuh. So what should I do? Lirihnya.

-----------------------
ikutin terus kelanjutannya yaa

Pernikahan SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang