1. Rumah Pelangi

8K 939 60
                                    


"Kegundahan di hati tidak perlu sampai menutup diri. Percayalah nanti, ada saatnya kebenaran itu tersaji.
Nikmati saja proses-Nya, maka kamu akan menemukan titik akhirnya."

🌈🌈🌈

"Fabiayyi ala i robbikuma tukazziban."

Laki-laki berumur 60 tahun itu tetap gagah, suara seraknya memenuhi ruangan. Dia sedang merangkul anak-anak kecil untuk mendengarkan ceritanya, tentu mereka menyambutnya antusias.

Aku mengulas senyum di sudut ruang memerhatikan interaksi mereka, cerita yang bahkan selalu beliau ceritakan padaku  saat usiaku kecil. Tentang perjuangan hidup, membalas rasa sakit dengan cara yang benar, dan tidak lupa pesan yang selalu disematkan akan tetap sama: Jangan lupa bersyukur atas nikmat yang Allah beri.

Aku pernah menyesal pada diriku sendiri, karena pernah marah pada sesuatu yang belum jelas, tidak terima dengan jalan hidup yang sedangku jalani, padahal itu semua sudah tertulis di Lauhul Mahfudz-Nya. Tapi, beliau selalu menasehatiku, memberikan solusi terbaik, bahkan mengizinkan saat Aku memilih pergi untuk mencari kebenaran tentang identitas keluargaku. Dia, Abi Umar.

6 Tahun lalu.

Aku duduk mengamati beberapa siswa nampak antusias di hadapanku menyambut kehadiran orang tuanya datang saat acara pembagian raport dan kenaikkan kelas lima Sekolah dasar.

Sesekali Aku melirik jendela disampingku untuk melihat keadaan di luar, takut-takut seseorang yang kutunggu datang juga untuk mengambil raportku sama seperti anak-anak lain.

Seandainya dia tahu, dia tidak perlu tampil dengan pakaian mahal seperti mereka, kendaraan mewah yang berparkir memenuhi sekolah, Aku hanya ingin dia datang dan duduk disampingku hingga acara selesai.

"Dasar kampung, kasihan sekali Abimu tidak datang."

"Abinya kan sibuk bekerja," sahut anak yang lain.

"Bekerja memulung maksudnya, Ha ha." Gelak tawa terdengar.

Kata-kata tersebut terngiang di kepalaku, Aku menunduk, meremas jari, menghela napas pelan, mencoba menyingkirkan kesedihan di wajah--bagiku ini adalah hal biasa. Karena tekadku satu, harus tampil ceria walau banyak yang menghina.

Berkata baik, atau lebih baik diam.

Tiba-tiba teringat ucapan Abi. Ini cukup menguatkanku. Aku kembali memandang kedepan, membalas ucapan teman-teman sekelasku dengan senyuman lembut, menguatkan hati bahwa semuanya baik-baik saja. 

Abiku pasti datang.

Atau tidak sama sekali.  

Karena sampai namaku terakhir disebut, tidak seorangpun datang mengambil raportku, atau mengucapkan selamat atas prestasi yang diraih, atau bahkan sekedar menyemangati saat melihat nilai raportku turun.

Bibirku cemberut, mengelap air mata yang hendak jatuh ke pipi. Sekali lagi, kupandangi jendela disampingku, masih berharap Abi datang karena alasan telat.

"Almira...,"

Aku menyerah, suara bu Ningsih mengintrupsi. Aku meninggalkan jendela di sampingku, kembali duduk tegak sembari menautkan jari.
Melupakan pikiran yang mengusik, berusaha agar tidak marah pada Abi, dia mungkin sibuk atau, mungkin... ucapan teman-temanku benar?

"Ini raportmu, simpan yang rapih, ya, Nak." Ibu  Ningsih mengusap lembut kepalaku sembari memasukkan raportku ke dalam tas.

"Kamu hebat, ranking 1 di kelas. Pasti Abimu bangga," ucap Ibu Ningsih yang sudah berjongkok di hadapanku.

Rumah Pelangi [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang