Mochi

225 61 5
                                    




"Terkadang perlu adanya sedikit kesalahan sebagai bumbu kehidupan"


•| Mochi


Sifa tersenyum menatap lama layar ponsel yang menampilkan chat terakhirnya dengan Bima.

Bima Tigrish
Temenin cari kue ultah Bela

Oke bang

Bima adalah mahasiswa teknik di salah satu universitas favorit di kota ini.
Kulitnya sao matang dengan model rambut sedikit gondrong, tapi tidak menghilangkan kesan bersih di wajahnya ditambah lagi dia salah satu mahasiswa yang dikenal jauh dari asap rokok, prestasinya juga lumayan bisa dipuji. So, Sifa beruntung bisa menjadi pacarnya.

****
Hari ini adalah hari sabtu di mana khusus kelas XI IPS 2 memiliki empat mata pelajaran yang super duper membuat kepala panas, jam pertama Sejarah Peminatan, kedua Sejarah Wajib, ketiga ekonomi, dan terakhir matematika. Sungguh struktur matpel yang bikin siswa siswi binasa.

Coba bayangkan pagi kalian dimulai dengan merathon meringkas materi sejarah yang tidak sedikit plus menghafalnya dilanjutkan dengan memahami konsep dan menghapal beberapa materi penting di ekonomi dan matematika, jangan lupakan hitung menghitung yang dilakukan pada saat jam-jam terakhir yakni di siang hari merupakan suatu kutukan buat anak IPS. Beberapa murid sudah protes mengenai jadwal matpel hari sabtu ini terutama matematika yang di letakkan di akhir itu seharusnya dipindahkan di jam pagi saja, tapi apalah daya murid, guru tetap menang dengan alasan seperti ini "ibu lagi ngajar di kelas lain" atau kalau misalnya murid kasih ajuan bagaimana kalau jadwalnya pagi tapi harinya beda, guru akan menjawab "Ibu juga capek nak dari pagi tidak berhenti sampai pulang". Lah bayangkan guru hanya mengurus, mempelajari, menyusun satu matpel saja sedangkan murid berusaha memahami setiap mata pelajaran. Namun, lain cerita dengan guru-guru yang merangkap dua mata pelajaran.

Bel tanda istirahat berbunyi. Pak Ujang belum keluar dari kelas membuat beberapa murid berkicau meminta kebebasan seperti ini ;

"Pak sudah boleh istirahat?"

"Makan pak"

"Mau reques lagu apa pak?"

"Pak besok libur"

Pak Ujang hanya menjawab, iya, lanjut dan pada pernyataan terakhir, Vano. Pak Ujang hanya membalas dengan decakan aneh, jelas-jelas besok hari minggu tentulah libur.

"Hanzel jangan lupa ya, pulang sekolah kita nanti kumpul di Galeri ada kunjungan khusus untuk pembinaan organisasi Ekonomi," kata pak Ujang yang langsung diiyakan Hanzel. Lalu pak ujang keluar dari kelas.

Vano mendekat,"Ke kantin yuk!"

"Njim-lo bisa nggk sih ngode dulu sebelum ngomong, gue terkejoet jadinya," desis Hanzel membuat Vano cemberut padahal nada suaranya tidak keras memang dasar jantung Hanzelnya saja yang lemah, "Ya udah ayok."

Hanzel langsung menarik tangan Vano keluar kelas tanpa merasa bersalah bawasannya sekarang jantung Vano mulai berdegup lebih cepat dari biasanya karena keberadaan telapak tangan Hanzel yang lembut tengah menggenggam tangannya.

Tiba-tiba Vano menghentikan langkahnya. Hanzel berbalik mengangkat salah satu alisnya yang entah kenapa membuat Vano sedikit salah tingkah dibuatnya.

"Bisa lepasin aja tangan gue?"

"Oh, ups tadi gue refleks."

Lalu keduanya menuju kantin.

****

Vano melotot saat Hanzel hanya menyodorkan kepadanya satu butir mochi coklat.
Hanzel mengangkat alisnya saat melihat tampang tak terima dari Vano.

"Lo nggk suka?" Vano tidak menjawab, "Yaudah nih gue ganti dengan satu risol."

Hanzel hendak mengeluarkan satu buah risol dari plastik makanannya. Namun, tertahan saat mendengar ucapan Vano, "Lo niat nggk sih traktir gue, kok pelit amat."

Hanzel mendelik, "Untung-untung gue tawarin mochi atau risol dari pada gue tawarin satu butir kacang?... Intinya traktir, lagian lo nggk tentuin berapa budgetnya kan berarti suka-suka gue mau kasih apa."

Vano diam mencerna setiap kata yang dilontarkan Hanzel. Dalam hati Vano menggerutu kesal "kalau tahu endingnya kek gini mendingan gue kasih di sana budgetnya sepuluh ribu, setidaknya bisa beli teh botol satu plus pizza gadungan kantin."

"Yaudah gue pilih mochi aja," ujar Vano pasrah, lalu meraih moci yang ada di tangan Hanzel.

****

Bel tanda pulang sekolah sudah berbunyi sejak tiga menit yang lalu. Vano menyusuri koridor labor dan ruang-ruang organisasi dan galeri sekolah. Vano mampir di tiap-tiap ruang demi mengecek keaktifan setiap organisasi, sesekali dia menikmati mochi coklat yang ketigakalinya dia beli di kantin jika berada di luar ruangan.

"Tumben mochi?" Tanya seseorang yang berada di samping ruang galeri.
Iya entah kenapa sejak lidahnya kesentrum mochi coklat tadi siang yang diberikan Hanzel, Vano jadi ingin menikmatinya lagi dan lagi, jadinya pas pulang sekolah dia dua kali beli mochi coklat entah karena candu mochinya atau orang yang pertama kali memberi dia mochi.

Vano mengangkat alis atas keberadaan si batu ini. "Lo yang Tumben, kenapa bisa di sini 'kak'? " Vano membuang bungkus mochi ke tempat sampah di dekat sana.

Laki-laki itu tersenyum miring mendengar nada sinis yang keluar saat Vano memanggilnya 'kak' , "Ada, penting," balas sang kakak.

Lalu bu Meilan-guru PL sekaligus asistennya pak Ujang muncul. Kerutan malas di wajah perempuan itu seketika hilang saat menemukan ada dua cogan di depan pintu ruang Galeri yang dia yakini bahwa yang memakai pakaian kasual itu merupakan sang alumni yang siap memberikan materi. Meilan tersenyum manis seraya menyapa keduanya dengan suara yang begitu mendayu, makhlum di depan cogan-cogan harus jaga image. Sungguh dia kira dia akan bertemu orangtua beruban seperti pada minggu-minggu kemarin yang terlihat begitu membosankan dan ternyata sekarang? Mungkinkah ini yang dinamakan berpahit-pahit dahulu baru bermanis-manis kemudian?

"Maaf, ini mas Alde ya?" tanyanya dengan senyum tidak pernah lepas dari bibirnya sungguh Meilan harus bisa mengikat si tampan ini, Aldebaran tersenyum miring saat perempuan itu menyimpulkan nama panggilan untuknya sendiri.

"Iya saya," jawab Aldebaran membuat pipi perempuan itu memerah, merasa berbunga saat mendengar suara bas yang begitu maskulin dari si cogan.

Vano yang tidak sengaja memerhatikan interaksi dua orang berbeda jenis kelamin itu, sontak berdesis "pesona si playboy ternyata tidak pernah luntur"
lalu beranjak dari sana.

Aldebaran yang sempat mendengar gumaman Vano tadi kembali tersenyum miring.

Di tempat lain.

Hanzel menepuk jidatnya, "Astagaaaaa, ada bimbingan organisasiiiii!!!" Jeritnya, dengan secepat kilat Hanzel menyambar tasnya yang berada di kursi pedangan asongan depan sekolah dan langsung berlari ke gedung ekskul.

"Huft-huft"
Hanzel tiba di ruangan galeri sambil membungkuk mengatur napasnya lalu mengangkat tangannya.
"Ma-af ehem maaf pak saya terlambat kare-"

"Silahkan duduk kamu telah mengganggu presentasi saya," ujar suara yang bernada angkuh itu. Hanzel mengernyit kenapa suara pak Ujang jadi seksi begini? mengangkat wajahnya melihat dengan siapa dia sebenarnya bicara. Seketika Hanzel berhenti bernapas dalam hati Hanzel mendeskripsikan postur orang ini mulai dari tinggi serta yang paling utama wajah, begitu mulus tapi tidak menghilangkan kesan maskulin. Dan yang paling membuat Hanzel tertegun adalah manik abu-abunya, begitu misterius dan tak tersentuh. Hanzel mengernyit ketika merasa tidak asing dengan mata orang ini.

"Saya tahu saya tampan." Satu kata yang membuat Hanzel tersedak napasnya sendiri sungguh baru kali ini dia melihat orang tampan mengaku tampan.

Krik-krik

Jangan lupa vote and comment ya teman-teman. Makaciuuu

Btw, jangan heran kalau nama Aldebaran, Vano pada bertebaran di cerita-cerita aku, karena entah kenapa nama tersebut terdengar cool dan terdapat gambaran male lead di sana.

Ten-Hanzel (Crazy Up)Where stories live. Discover now