07. Lost

5.4K 628 8
                                    

I can't help how I'm feeling
Scared of my own reasons.

Ruel.

      
       

       

       

      

      

       

      

       

       

       

      

   "Seokjin!"

Sebelumnya Seokjin hanya duduk tenang di kelas, membolak-balik buku besar sembari menulis pada buku catatan. Sampai kemudian merasakan presensi lain di bangku hadapannya.

   "Kita satu kelompok kan?" lanjut orang itu. Seokjin menatap sebentar, kemudian kembali membuka lembaran lain catatannya. Mendapati sebuah nama yang sebelumnya memang ia tulis saat pembagian kelompok. "Jung Hoseok ya?"

Hoseok menunjukkan ekspresi terkejut, merasa benar dengan perkiraannya. "Jadi kau sungguh tidak mengenaliku?"

Wajah Hoseok memang tidak asing, tapi tidak familiar juga. Cukup keras Seokjin berusaha mengingat, tapi tetap tidak mendapatkan apapun. Ia jadi merasa tidak enak pada Hoseok.

   "Kita memang tidak pernah bicara sebelumnya, tapi kita satu SMA." jelas Hoseok.

   "Astaga! Maafkan aku, Hoseok."

Hoseok tertawa sembari menepuk pelan punggung Seokjin, "Ey, tidak masalah."

   "Jadi bagaimana materinya?" Lanjut Hoseok.

Mungkin sudah sejak SMP, Seokjin mulai bercita-cita menjadi jaksa. Menurutnya keren, jaksa yang biasa ia lihat di siaran TV. Walau memang Ayahnya menawari soal bisnis di awal, dengan perasaan tidak enak Seokjin mengatakan secara jujur kalau tidak memiliki minat kesana.

Tentu Ayahnya tidak melarang, Sejin tidak akan mungkin mengatur kemauan putranya.

Hoseok kelewat bersyukur mendengar nama Seokjin dipasangkan dengannya sebagai satu kelompok. Saat SMA mana ada yang tidak kenal Seokjin, nomor 1 seakan sudah menjadi bagian dari namanya. Bahkan sekarang melihat bagaimana Seokjin menerangkan segala materi padanya, padahal baru hari ini diberikan, tapi Seokjin dengan mudah menguasai.

   "Ohya, sudah lama tidak melihat adikmu."

Hoseok dan Seokjin berencana untuk makan siang bersama, jadi sekarang sedang sama-sama merapikan barang. Tapi mendengar perkataan tiba-tiba Hoseok, Seokjin langsung berhenti dari aktivitas.

   "Adik..?" mendengar Seokjin memberi pertanyaan balik, Hoseok menatap bingung. "Yang sering bersamamu itu, dia juga sering datang ke sekolah kan? Atau bukan adikmu?"

Seingat Hoseok begitu, dulu Seokjin sering bersama seseorang berseragam SMP setiap pulang sekolah. Dan dilihat dari wajah mereka yang mirip, Hoseok langsung berpikir kalau itu adik Seokjin.

   "Oh benar, itu adikku." Sebisa mungkin Seokjin bersikap tenang, walau sebenarnya ia tidak mengerti alasan apa sampai-sampai ia mendadak gugup.

Jungkook benar adiknya, tidak ada yang salah. Semua sudah lama berlalu, tapi nyatanya Seokjin masih tidak terbiasa. Masih ada perasaan yang kelewat perih setiap memikirkan tentang itu, walau Seokjin tidak akan bohong kalau ia rindu.

   "Kabarnya baik? Sekarang dia sekolah dimana?"

Dan kini Seokjin makin gugup, bagaimana harus menjawab. "Jujur, Hoseok. Aku kurang tahu,"

Hoseok hanya terdiam. Tentu saja ia mau memberi banyak pertanyaan, tapi sungkan. Melihat bagaimana ekspresi Seokjin, rasanya ia sudah membawa topik pembicaraan yang salah.

   "Orangtua kami berpisah, dan adikku bersama Ibu." Seokjin pikir tidak akan masalah, Hoseok temannya. Tidak ada yang perlu disembunyikan.

Mendengar itu, kini jadi Hoseok yang mendadak canggung. "Oh...maafkan aku, aku tidak--"

   "Tidak masalah, Hoseok. Itu sudah cukup lama, tidak apa-apa."

.

.

.

.

.

Ayahnya memang sempat bilang kalau di perusahaan sedang ada sedikit masalah, jadi sering pulang malam. Dan Seokjin tidak masalah, toh dia tidak bisa membantu Ayahnya.

Mungkin sekitar jam 9 malam, Seokjin yang awalnya sedang belajar di kamar kini berada di dapur. Merasa butuh mengambil minuman untuk menemani, dan bertepatan dengan itu Ayahnya baru saja pulang.

Sejin terlihat sangat lelah, jadi Seokjin tidak ada niatan untuk mengganggu. Karena ia pikir Ayahnya akan memilih langsung pergi ke kamar. Tapi nyatanya saat Seokjin berbalik, Ayahnya sedang duduk di depan meja makan sembari menatapnya cukup serius.

   "Ayah mau minum?" tanya Seokjin, tapi tidak ada jawaban. Sejin hanya terus menatap dalam pada matanya.

Sampai akhirnya sejenak ia manangkup wajah, dan kembali menatap Seokjin. "Kau mulai lelah, Jin?"

Perlahan Seokjin melangkah mendekati Ayahnya, kurang mengerti dengan pertanyaan yang barusan ia dengar. "Maksud--"

   "Kau sudah lelah dengan Ayah? Merindukan Jungkook? Rindu Ibumu?! Menyesal kan sudah bersama Ayah!?"

Sudah lumayan lama, Sejin tidak mendapat perbincangan hangat dengan putranya. Ia merasa Seokjin mulai menjauh dari jangkauan, takut kembali kehilangan.

Seokjin terdiam beberapa saat, merasa setiap perkataan Ayahnya tidak masuk akal. Rindu? Itu kan sudah jelas, ia yakin Ayahnya juga merasakan hal yang sama. Padahal yang Seokjin lakukan selama ini hanya berusaha untuk tidak mengganggu sang Ayah, tapi malah ditangkap seperti ini.

   "Sepertinya Ayah yang lelah," Dengan yakin Seokjin membalas tatapan Ayahnya. "Memangnya aku berbuat apa, Yah? Ayah mau aku bagaimana? Sedikitpun aku tidak pernah menyesal, aku hanya ingin Ayah tetap baik-baik saja."

Iya, Sejin sadar. Semua justru karena segala kesibukannya, waktunya jadi menipis. Seharusnya ia tidak marah-marah begini.

   "Seokjin, Ayah--" Baru saja Sejin berniat untuk meminta maaf, tapi putranya sudah lebih dulu memilih pergi kembali ke kamar.

Mungkin Seokjin benar, Sejin lelah. Hatinya sakit, merasa dikhianati. Tapi kenapa sampai sekarang masih terus-terusan seperti ini? Ia tahu jelas kalau hatinya benci, tapi kenapa sulit sekali untuk melupakan?

       
      

      

       

     

      

      

           
      

      

TBC.

      

       

        

WASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang