Kei dan River saling pandang, lalu serempak menggeleng.

Tante Fang mengangguk. "Berarti, tidak ada lagi yang bisa kami lakukan."

"Pasti ada! Kami percaya Aidan. Kami kenal dia sejak kecil. Kuliahnya lancar. Hidupnya bahagia. Tidak ada alasan untuk bunuh diri!" Suara River bergetar. Ada isak tertahan.

Ada nyeri yang diikuti rasa besi di mulutku. Aku sudah menggigit bibir sampai berdarah. Di mana aku pada malam naas itu, Sabtu, 15 September? Di kamar kos, sendirian, memikirkan Aidan. Berandai-andai memiliki kekuatan berbeda, agar dapat menjangkaunya dengan pikiranku. Kepekaan kulit tanganku sama sekali tidak berguna. Selama kami satu sekolah, aku tidak berani mendekatinya. Aku hanya pengagum rahasia, bersembunyi seperti siput di dalam cangkang, hidup di bawah tanah, berani muncul sebagai diriku sendiri hanya di kantor polsek ini.

Kei merangkul River yang sudah menangis sesenggukan.

Tante Fang berkata dengan nada keibuan. "Percaya saja tidak cukup, anak-anak. Kalian tahu, begitu mobil itu ditemukan dengan Aidan di dalamnya, polisi langsung melakukan penyelidikan menyeluruh. Kami mencari indikasi tindak pidana. Sudah mewawancarai semua orang yang mengenal Aidan. Termasuk kalian berdua. Faktanya, tidak ada bukti dan kesaksian yang mengarah pada tindak pidana---"

Pintu ruang pengamat tiba-tiba terbuka. Seruan kecil terlepas dari mulutku. Cahaya lampu dari lorong menerangi sosok yang baru masuk. Tinggi, tegap. Berwibawa dalam balutan seragam hariannya. Aku menyemburkan napas lega. Hanya AKPRI. Tapi caranya berdiri dan memandangku membuatku waspada. AKPRI tidak sedang bercanda. Kuhadapkan badan padanya, sementara telingaku terus mendengarkan Tante Fang.

"---karena ini kasus penggunaan narkoba, penyelidikan dilakukan dalam kaitan peredarannya. Selama tiga bulan ini polisi bekerja nonstop. Tapi semua bukti menunjukkan, kematiannya disebabkan oleh diri sendiri. Mungkin tidak ada niat bunuh diri, hanya kecelakaan pemakaian. Overdosis bisa terjadi pada pemakai pemula. Itu sebabnya, pihak keluarga secara resmi meminta kasus Aidan ditutup demi nama baik---"

Mendadak sepi. Aku tidak bisa lagi mendengarkan mereka di sebelah. AKPRI sudah berdiri di depan kotak kontrol di dinding, mematikan penyadap suara.

"Kamu sudah mendengarkan lebih dari cukup. Kasus ini off-limits buatmu, Rhea. Pulanglah!"

"T-tapi ... aku kenal Aidan ...."

"Justru itu." AKPRI melipat lengan di dada. Bersandar di dinding dengan lebih santai. Jelas, tidak ingin membuatku takut. "Begitu tahu Aidan pernah satu SMA denganmu, aku tidak memberikan kasus ini pada Fang. Demi obyektivitas penyelidikan. Karena Fang mengandalkan bakatmu, dan kamu pasti terpengaruh secara emosional karena kenal Aidan. Ingat, kita sudah sepakat, kamu tidak boleh terpapar lagi kasus kekerasan dan kematian. Cukup yang dulu itu."

"Penculikan Lilo? Itu kan sudah lama. Aku ceroboh melepas sarung tangan. Sekarang aku lebih kuat dan waspada. AKPRI, izinkan aku mencari titik terang tentang Aidan." Aku maju dan memberinya tatapan anak kecil yatim piatu yang kehujanan dan kelaparan.

AKPRI memalingkan muka. "Tidak. Semua sudah terang. Kamu dengar sendiri, keluarganya punya alasan kuat yang harus kita hormati. Kasus Aidan ditutup sesuai hukum. Jangan khawatir, polisi tidak akan berhenti mengejar jaringan pengedar narkoba. Itu sih perang seumur hidup."

"Ta-tapi, aku bisa tahu apa yang terjadi dengan---"

"Rhe, Rhea, setop! Bayangkan kedudukanku sebagai Kapolsek. Sudah berapa lama aku membiarkan kamu seliweran di sini kayak rumah sendiri? Lima tahun. Dalam berapa kasus, aku dan Fang memanfaatkan bakatmu? Sudah tak terhitung. Berapa kasus yang dapat kita selesaikan berkat Clair? Banyak. Tapi di sini, siapa yang tahu peran kamu sesungguhnya? Hanya Fang dan aku. Kenapa? Karena keterlibatan Clair tidak masuk akal ditinjau dari sudut mana pun. Jadi, kalau aku masih menjabat di sini, tidak pernah dikenai sanksi oleh komisi kode etik atau dituntut oleh Komisi Perlindungan Anak, artinya apa?"

CLAIR [Sudah Terbit]Kde žijí příběhy. Začni objevovat