31. Kepergian Mereka

3.7K 230 0
                                    

Cerita ini didedikasikan kepada kalian yang tetap setia menunggu. Terimakasih sudah memberiku semangat!

Selamat menikmati, happy reading!

~~~

Jika kemarin merupakan hari tersial dalam hidupnya, maka hari ini merupakan hari terburuk yang pernah ada dalam hidup Elly.

Lampu ruangan dibuat seremang mungkin. Kini satu-satunya pemandangan bagi Elly adalah cahaya lampu dari gedung lain. Kali ini Elly tidak ditemani teh hijau kesukaannya, melainkan sebotol vodka untuk menenangkan pikirannya. Pikirannya sangat kalut akhir-akhir ini.

Suara denting piano mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. Tidak peduli dengan si pemain yang terus menatapnya khawatir. Biarlah. Ia memang wanita yang perlu dikasihani karena hidupnya yang yang sangat kacau.

"Apa aku salah jika aku merindukan putri ku?"

"Sebenarnya tidak masalah," Jawab Elly sekenanya. Ia tidak menunjukkan emosi apapun diwajahnya. "Tapi karena ini kau, itu tentu saja salah. Ayolah Dad. Aku tau apa yang kau inginkan. Kau ingin aku membersihkan nama baik istri tercintamu? Maaf, sejak kapan kau memperdulikan wanita itu?" Elly berkata panjang lebar seakan tidak ada siapa-siapa disana.

Hening kembali berada ditengah dua manusia berbeda generasi namun satu kepribadian itu. Terlalu dingin disana sampai-sampai Elly ingin mematikan pendingin udara. Namun ia malah memilih kembali duduk di kursi kebesarannya lalu kembali menekuni pekerjaannya. Biar saja, pria tua itu memang sudah kehilangan kewarasannya sejak lama, batin Elly meyakinkan diri sendiri.

"Aku hanya ingin meminta maaf," kata orang tua itu membuat Elly tercenung. Sejak kapan mulut itu mengenal kata maaf?

"Apa kau mabuk?" Bukan, itu bukan sebuah bentuk kepedulian. Itu sarkasme yang menandakan bahwa kalimat yang baru di dengarnya tadi hanyalah omong kosong dari seorang pemabuk yang tidak sadarkan diri. "Oh atau kau mendapat diagnosis penyakit parah?"

"Ya," pria itu menjawab tanpa bantahan sedikitpun. Terlihat tenang dan terkenadali, "umurku tidak sampai enam bulan lagi."

Ada sebuah hantaman kuat di ulu hati Elly ketika ia mendengar suara pria tua itu melemah. Kemana perginya seorang Taylor Wardey yang perkasa dan tanguh? Apa segitu parahnya penyakit sialan itu mengerogoti hidup ayahnya?

"Biarlah," Kata Elly dengan ketus, namun tidak bisa menyembunyikan getaran di dalamnya, "kau memang pantas mati. Tidak perlu repot-repot minta maaf padaku. Bahkan neraka tidak sudi menerimamu."

"Bahkan aku akan langsung memberontak jika tidak dikirim ke neraka," Ayah Elly mengangguk setuju mengiyakan kalimat tajam anaknya itu. Lagi-lagi tidak ada bantahan, karena memang benar adanya. Ia tidak pantas menginjaki surga setelah apa yang dia perbuat.

Air mata, jerit tangis, dan darah yang mengalir karena tangannya.

"Tapi biarlah orang tua ini memberitaumu sesuatu," Helaan nafas itu terasa sangat berat tertarik. Seperti mengais-ngais sisa keberanian yang menguap entah kemana. Ia meyakinkan diri bahwa inilah saatnya anaknya itu tau segalanya.

"Akulah yang bersalah disini."

"Elly?"

Elly segera tersadar dari lamunannya. Ia tersenyum canggung menyadari kekhawatiran William pada dirinya yang sangat tercetak jelas di kedua mata pria itu. Sejujurnya tidak nyaman dengan semua itu. Namun kali ini ia memilih diam. Dengan segera ia melepas pelukan William di pinggangnya dan bergeser memberi jarak.

"Ada apa? Kenapa kamu-"

"Aku masih mau mendengar lagu lain. Jangan hentikan permainannya."

William menggeram ketika Elly berusaha mengalihkan pembicaraan. Lagi, wanita itu tidak ingin siapapun mengetahui lukanya. Dan sekarang William merasa seperti mate yang tidak berguna bagi Elly. Sakit rasanya mengetahui wanita itu tidak sudi membagi luka padanya. Padahal apapun yang dirasakan wanita itu dapat juga dirasakan olehnya. Tidak mau memancing keributan, William kembali menekan tuts pada piano dan mendendangkan lagu yang ia harap bisa memberikan ketenangan bagi Elly. Matanya mengawasi Elly yang kembali termenung.

"Akulah yang bersalah disini," Ulang pria itu melihat ketidakyakinan anaknya. Anak? Batin pria itu tertawa, menertawakan diri sendiri. Sejak kapan ia mengakui bahwa dirinya memiliki anak? Mana ada orang tua yang mengirimkan pembunuh bayaran untuk anaknya? Kini ia hanya bisa menertawakan keputusan bodohnya. Menyadari betapa menyesalnya ia kini.

Taylor menatap Elly yang hanya diam mendengarkan. Wajah wanita itu datar, tidak menyiratkan emosi apapun. Namun yang tidak siapapun juga tau, hatinya tengah teriris dan dalam ambang tetap mendengarkan atau mengusir pria dengan segala omong kosongnya itu.

Namun hati kecilnya ingin mendengar apa yang belum ia dengar selama ini. Sudah banyak versi dan sudut pandang yang ia terima tapi tidak dari orangtuanya, ayahnya.

Karena tidak ada tanda-tanda penolakan dari Elly, pria itupun melanjutkan ceritanya, "Aku mencintai Clarissa, ibumu. Aku menantinya datang dengan niat melamarnya." Ia tersenyum kecil mengingat kenangan indah penuh cinta yang pernah ia lewati bersama wanita yang dicintainya. Namun secepat senyum itu datang, secepat itupula semua sirna. Kini wajah yang mulai keriput itu penuh kepedihan, "Tapi dia meninggalkanku."

"Tapi kau sendirilah yang menembak kepalanya, didepan mataku sendiri."

"Ya, aku tau," kata pria itu cepat. "Dan aku tidak menyesal. Karena itu permintaan terakhirnya. Permintaan yang bodoh namun kukabulkan karena emosi sesaat."

Hati Elly semakin sakit mendengar perkataan ayahnya. Ia menyenderkan tubuhnya, lelah dengan segala kejadian yang terjadi akhir-akhir ini. Terlebih ketika mendengar penjelasan orang tua itu.

Ruangan itu hening. Mata pria itu menyelidiki Elly dalam diamnya. Menanti apakah wanita muda itu akan memberikan komentar atau justru... membunuhnya.

Sedetik kemudian suara isakan tangis terdengar. Kecil namun masih dapat terdengar karena ruangan tengah hening. Itu suara Elly.

Ia tidak lagi dapat menanggung semuanya. Hatinya sangat lelah menanggung semuanya sendiri. Semua meninggalkannya dengan teka-teki membuatnya muak. Kenapa mereka tidak pergi saja dan membiarkan hidupnya tenang?

Kenapa hidupnya seperti ini?

Ibunya, kakak tirinya, dan kemudian Mrs.Yoon pun ikut memilih pergi daripada bertahan.

"Katakan kau tidak akan pernah meninggalkanku."

Suara dentingan piano terhenti. Sang pianis menatap Elly bingung, namun kemudian wajahnya melembut melihat wajah penuh permohonan wanita itu. Dengan lembut dikecupnya bibir pucat Elly dan berbisik, "selamanya kau milik ku."

Hati Elly sedikit tenang mendengarnya. Bahunya melemas sebagai tanda dia menerima dengan baik. Matanya memanas.

"Tapi bagaimana jika aku yang pergi meninggalkanmu? Akankah aku menyusahkan seperti mereka? Apakah... kau akan merindukan aku seperti aku merindukan mereka?"

"Tentu saja," Kini nada pria itu terdengar serius. Ia menarik bahu wanita disampingnya itu, namun pandangannya masih lari. Dengan lembut ia menyentuh pipi Elly dan mengelusnya perlahan seakan-akan itu bisa rusak jika diperlakukan kasar walaupun sedikit. Hal itu berhasil menarik perhatian Elly. Pria itu pun melanjutkan ucapannya, "Aku bisa gila merindu. Bahkan mati. Jadi jangan pernah meninggalkanku. Karena hanya kamu alasanku untuk bertahan hidup."

Elly hanya diam mendengarkan. Ia tidak menampik rasa bahagia yang tumbuh dihatinya. Setidaknya ia pernah diinginkan.

"Aku akan pergi sebentar membelikanmu makanan," Kata William sebelum bangkit berdiri. Ia mengecup lembut kening wanitanya. "Argh aku benci meninggalkanmu. Tapi kau sangat pemilih masalah makanan. Berjanjilah padaku kau akan memakannya semuanya nanti, oke?" William tersenyum puas ketika Elly mengangguk patuh tanpa suara. Kemudian pergi meninggalkan Elly yang masih terduduk di ruang piano.

Yang William tidak sadari, ada rencana yang tersimpan di perasaan lelah seorang Elly.

~~~

SCROLL FOR DOUBLE UPDATE!

xoxo.

Stupid Alpha's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang