The Fourth Thread - "Conversation is Something Awkward"

Mulai dari awal
                                        

Setelah itu, dia langsung memasukan bukuku dalam tasnya.

*

Aku menolehkan kepalaku, menatap asal sebuah bangunan besar di ujung kota hanya untuk menghindari hal yang kulihat di depan mataku saat ini.

Jam pulang juga tak kalah canggung.

Baiklah, aku jadi ingin tahu. Kebetulan apa lagi yang membuatku bisa satu halte dan satu bus dengan Arlan Pratama?

Hari ini memang lucu.

Akan kuceritakan sedikit apa yang terjadi. Halte yang biasanya menjadi tempat kumenunggu bus memang ramai ditunggu oleh orang-orang. Terlebih di jam pulang seperti ini. Masalahnya, sebelum dia datang kembali ke sekolah, kami belum pernah bertemu dengan cara lucu seperti hari ini.

Kupikir, aku tidak perlu merasa tertekan di halte bus lama-lama. Karena begitu aku menoleh ke kanan, aku langsung menemukan bus yang bersiap-siap berhenti di halte kami. Saat aku naik ke bus, rupanya Arlan Pratama juga naik di bus yang sama.

Karena jarak tempat duduk yang cukup jauh, aku bahkan ragu bahwa dia menyadari keberadaanku saat ini.

Kebetulan itu tidak berakhir sampai di sana, karena bahkan sampai turun dari bus pun ...

Arlan Pratama masih berjalan di belakangku.

Sengaja pula, aku berhenti melangkah dan membiarkannya lewat duluan. Aku bukan percaya diri bahwa dia sedang mengikutiku atau apa, tetapi aku hanya ingin tahu kemana dia akan pergi. Karena kalau aku langsung masuk ke gedung apartemen, bisa saja dia berjalan entah kemana. 

Namun rupanya, prediksiku tepat. Dia benar-benar masuk ke gedung apartemen yang sama. Dia juga menunggu di antara kerumunan orang-orang yang akan naik elevator. Aku benar-benar merasa aneh dengan situasi ini, ingin bertanya, tetapi keadaan tidak memungkinkan.

Ada apa ini? Apa dia juga tinggal di apartemen ini?

Lift akhirnya terbuka. Kami masuk di elevator yang sama, walaupun ada dua elevator yang sedang beroperasi. Aku tinggal di lantai teratas--lantai sepuluh--yang mana halnya membuatku mampu mengetahui di lantai berapa dia tinggal. Bukannya sedang berniat mencari tahu, tetapi ada satu sudut hatiku yang ingin mengetahui perihal itu.

Setiap pintu elevator terbuka, aku selalu melihat ke pintu elevator untuk memeriksa apakah dia bergerak dari tempatnya. Namun, berapa kalipun pintu lift terbuka dan orang-orang lalu lalang untuk keluar, Arlan Pratama masih setia berdiri di sudut elevator, menyimak satu persatu punggung orang-orang yang keluar.

Pintu kembali tertutup, semakin minim pula orang yang ada di dalam lift. Pintu lift terus terbuka dan tertutup, belum ada tanda-tanda dia akan segera turun dari sana. Hal itu terus terjadi hingga lift elevator hanya berakhir menyisakan empat orang ditambah diriku sendiri.

Saat pintu lift lantai ke-sembilan terbuka dan aku hendak melangkah ke depan untuk mengontrol tombol elevator, ada yang menabrak bahuku dari belakang.

Kepalaku terbentur dinding lift. Untungnya, aku berhasil mengendalikan keseimbangan tubuhku sehingga benturannya tidak terlalu keras. Tapi karena itu, aku berakhir dalam posisi yang cukup memalukan, seperti nyaris tersandung.

"Hati-hati, dong! Sudah tahu liftnya sempit begini!" Pria yang menabrakku itu menatapku tajam sambil merangkul bahu seorang wanita di sampingnya. "Sayang, kamu nggak apa-apa, kan?"

Dan mereka berdua keluar dan melangkah dengan begitu entengnya.

... Benar-benar mengesalkan sekali.

Aku memperhatikan benang merah pria yang menabrakku itu, tidak tersambung dengan wanita yang sedang dirangkulnya.

Sudah sering, aku melihat hal seperti itu.

LFS 2 - Red String [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang