Red Spider Lily

2.3K 258 25
                                    

"Apa yang kau lihat?"

Eren mendongak ke asal suara, Suaminya sedang menghisap puntung rokok sembari menatap dalam bak pusaran yang tidak berdasar.
Angin malam saat itu sangat menusuk, bulan Februari yang dinginnya menyiksa hingga ke dalam tulang rusuk.

"Tidak ada, hanya sedang berpikir."
Dijawab singkat, Eren kembali memandang langit malam dibalik pagar beranda.

"Kau sedang mencari bintang, hah? Polusi udara menutupi semuanya, bocah. Percuma kau pelototi langit hingga pagi buta." Hisapan rokok membumbung dari sela bibir pria yang lebih tua.

Eren tidak menjawab candaan Levi, ia hanya kembali menatap langit kelam itu tanpa bersuara. Mereka sudah menjadi pasangan bertahun-tahun.

Hari itu, Levi menganggap bahwa Eren sedang butuh waktu untuk sendiri.







Levi Ackerman, tangan kanannya menggenggam erat ponsel yang berada dalam saku celana.

Benda terkutuk itu terus bergetar tanpa henti. Menyala sesekali hingga membuat sang pemilik gusar.

Tetapi Levi sama sekali tidak menghiraukan, karena ia tahu, yang meneleponnya saat itu adalah kekasih gelapnya sendiri.

Bukan saat yang tepat.
Levi melirik sekilas layar ponselnya,
27 pesan masuk dan 15 panggilan tidak terjawab.

Erwin memecahkan keheningan dengan membawa kopi serta teh hitam dari dapur.

Armin masih terduduk lemas sembari bersandar ke dada bidang milik suaminya yang baru saja duduk.

Kopi hangat ditolak, Armin bergumam bahwa dia sedang tidak nafsu untuk mengisi perutnya saat ini.

Mereka bertiga tengah duduk termenung menyaksikan kekacauan sesampainya di rumah.
Pecahan kaca berhamburan ke segala penjuru ruangan, pot bunga berserakan dan segalanya berantakan.

Awalnya mereka mengindikasi adanya pencuri yang masuk saat rumah sedang kosong.

Erwin ingin memanggil polisi tapi kemudian menyadari dari rekaman CCTV bahwa yang melakukan kerusakan ini bukan pencuri, tetapi tidak lain adalah Eren itu sendiri.

Terkejut? Tentu.
Terutama bagi Levi.

Rekaman video itu memutar adegan dari pertama Eren muncul.

Mobil Jean yang mengantar Eren tampak jelas, mereka berdua sempat berbincang sebentar sebelum Eren kembali masuk ke dalam rumah.

Saat itu tidak terlihat keganjilan pada diri bocah kesayangannya.
Beberapa menit setelahnya, ketika Eren mendadak tersentak melihat ke arah cermin lalu panik dan melemparkan gelasnya, memporak-porandakan seisi ruangan hingga menerjang keluar rumah seperti kesetanan.

Berkali-kali Levi mengulang rekaman itu tanpa berkedip.

Mencari tahu eksitensi apa yang mengakibatkan Eren bersikap seperti itu, namun nihil.

Apakah ada Jean? Hanji?
Pencuri? Siapapun?

Levi memutar otaknya hingga migrain.

Rekaman itu tidak memperlihatkan apapun yang menjadi alasan kepanikan sang bocah.

Erwin berasumsi bahwa mungkin ada hewan liar yang muncul dan membuat kepanikan.

Namun, Armin menggelengkan kepalanya, wajahnya pucat pasi.
Dirinya menarik lengan baju Erwin dan menggigit bibir.

Levi dan Erwin mengerti.
Armin tahu apa yang terjadi.
Alasan dimana Eren menjadi seperti itu.

Bibir pucat itu membuka dan menutup.
Mengeja kata demi kata yang membuat Levi menahan nafas.

Dan dia kemudian mendapatkan jawabannya.

"...Halusinasi?"

Armin menghela nafas, mencoba memikirkan kalimat yang cocok untuk mendeskripsikan situasi sahabatnya.

Levi terdiam, beribu kata yang sama muncul dalam benaknya. Setiap ingin diucapkan, suara itu tertelan.
Karena jika diucapkan, maka sama saja bahwa Levi berarti tidak mempercayai mantan suaminya.

Mengetahui kondisi sahabatnya yang tidak mampu untuk mengucapkan kata taboo.
Erwin ber inisiatif untuk membantu,
"Armin, maksudmu, apa Eren...?"

Histeris,
"Aku tidak tahu! Tapi kami yakin Eren tidak gila...maksudku, uh...kau tahu maksudku kan? Dia masih bisa beraktifitas dengan baik dan normal..."

Erwin mengernyitkan alis,

Normal?

Sebelum Erwin membuka suara, Levi sudah bisa menebaknya.

Tidak perlu untuk mengetahui lebih jauh, sebuah nama penyakit sudah mencuat keluar begitu jelas dalam kedua benak pria dewasa ini.

"Skizofrenia Paranoid."

Erwin sama sekali tidak bergeming dalam mengucapkannya.

Armin menggigit bibirnya, kali ini dia menarik nafas dalam.

"Ya. Eren mengidap Skizofrenia Paranoid. Penyakit ini membuat Eren tidak bisa membedakan realita dengan halusinasinya."

Brengsek.

Siapa yang kau bilang tidak gila?
Erennya mengidap Skizofrenia?
Itu penyakit kejiwaan yang beda tipis dengan gila!

Ingin rasanya Levi melempar meja yang memisahkan dirinya dengan Armin saat ini.

"Levi."
Bak air dingin yang membasahi sekujur tubuh Levi. Suara peringatan dari Erwin kepadanya, Levi tidak sadar tangannya mengepal murka.

Rasionalis memang tidak bisa menjadi alasan untuk orang yang kau sayangi hingga mati.

"...sejak kapan? Dan kenapa?"
Levi merogoh saku celananya, mencari sekotak rokok untuk mengalihkan pikiran.

Mungkin alam bawah sadarnya tidak akan mampu menerima kenyataan yang ada. Sejujurnya saat ini pun, Levi sangat takut untuk mendengar alasan dibalik semua kegilaan yang terjadi.

Ada setitik noda dalam hati Levi.
Yang terus bergema sayup, membisiki bahwa dia lebih baik tidak bertanya lebih jauh.

Armin menatap Erwin yang sekarang memeluk bahunya erat.

Aku disini.

Merasakan pondasi Erwin disampingnya, Armin seakan-akan mendapatkan kekuatan lagi.
Sebuah tirai kelam masa lalu yang telah ditutup dalam-dalam oleh dirinya dan semua sahabat-sahabatnya.

Kotak pandora itu kini terbuka.

Diucapkan lantang,
"Kematian Carla, ibunya."

Mata biru itu menatap tajam ke arah Levi, lagi.

"Dan kau, Levi."





Red spider lily; meaning ;
a final goodbye, part ways forever.

The Thousand Blossoms [ Rivaere ]Where stories live. Discover now