Stripped Carnation 2

2.4K 297 23
                                    

Mimpi buruk.

Semua terasa gelap gulita. Entah bagaimana caranya, Levi bisa sampai ke Rumah sakit Trost dan menemukan Armin yang menangis dalam pelukan Erwin.

Levi tidak sempat menanyakan apapun ketika ia merasakan tungkai lututnya lemas.

Kalau bukan Erwin yang memapah Levi untuk duduk-- Pria bertinggi 160cm ini akan jatuh tersungkur hingga menabrak pilar pintu rumah sakit terdekat.

Rambut hitamnya basah oleh air hujan.
Seluruh tubuh sang pria bermandikan lumpur hitam jalanan. Kemeja yang dikenakan menempel basah pada otot sekal.
Jauh dari kata motto hidup Levi akan kebersihan.

Kau yang hanya seorang,
Kau yang selalu mendukungku hingga sampai saat ini.
Dan aku sang pria idiot yang mengkhianati semua harapanmu.

"Tenang, Levi. Eren tidak ada disini."
Erwin memecahkan keheningan,
Levi menatap balik sahabatnya dengan raut wajah kusut.

"Maksudmu? Eren tidak apa-apa?"
Hatinya lega, sangat lega. Seakan sebuah bongkahan beban berat mendadak tersingkap hilang turun dari pundaknya.

Armin mengambil inisiatif membalas,
"Kami mendapatkan laporan mengenai seorang anak muda tanpa identitas tenggelam tak sadarkan diri dari kepolisian. Kupikir dia adalah Eren."

Levi mengernyitkan alis.
"Dan dia bukan?"

Erwin mengangguk mantap, "Bukan."

Bahu terkulai lemas, hela nafas panjang mengangkat kekacauan.
"Jadi kalian mengirimkan pesan itu...adalah?"

"Maaf, saat itu Armin panik dan aku gagal untuk menjaga emosiku, lalu terkirimlah pesan itu sebelum aku mengidentifikasi laporan." Erwin memeluk erat Armin, mencium ubun-ubun kepalanya dan berbisik ucapan maaf.

Levi memeriksa sekeliling, tidak basa-basi. "...Dimana Eren sekarang?"

Armin melihat kearah kekasihnya, pandangan mata tertunduk ke lantai marmer rumah sakit. Wajahnya menunjukkan kebingungan untuk menjawab serta pikiran kalut bercampur menjadi satu.

"Maaf, Levi. Soal itupun kami masib belum tahu..."

Dan Levi sekali lagi kembali ke awal lubang hitam penyesalan, tanpa jalan keluar.

°
°
°
°
°
°
°
°

Eren membuka kelopak matanya,
Buliran hujan jatuh dipucuk kepala.

Gelap.

Ingin mengenali waktu, tangan merogohi kantong celana mencari ponsel. Tidak menemukan apapun.

Terjatuh?
Apa hilang terselip saat aku berlari?

Menggaruk kepala, Eren menutup matanya kembali. Ia tahu tempat ini, sedetil apa hutan pohon dan setiap jengkalnya. Sama seperti taman belakang rumah tempat dia tinggal.

Eren tidak takut, bahkan ia berpikiran untuk duduk disana hingga matahari pagi menyambut. Menguatkan batin,
dia sama sekali tidak takut.

Armin.
Aku harus mengabari Armin.

Celana jeans ditepuk, lumpur menempel pada ujung celana.
Menyerah untuk membersihkan, Eren melangkahkan kakinya menuju keluar hutan.

The Thousand Blossoms [ Rivaere ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang