Hydrangea

2.8K 328 47
                                    

"Kenapa?"

Suaranya berat, akupun tahu- tercekat sangat terasa di kerongkongan.

Alasan apa yang harus kuberikan untuk pasanganku selama 3 tahun ini?
Perselingkuhan?

Pengkhianat cinta macam diriku rasanyapun tak pantas untuk menyanjung kenikmatan semata bersama dirinya.

Ia memberikan cinta dan seluruh hidupnya hanya untuk seorang Levi Ackerman.

Si manusia bangsat.

Namun yang kubalas adalah sebuah pengkhianatan luka terdalam.

Salahkan takdir, salahkan cinta.

Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa lagi.
Ya, sebut saja egois, hidup itu memang tidak pernah adil.

Janji cinta yang terucap di pelaminan altar pun bisa jadi hanya sebuah janji kosong semata untuk hidup yang kesepian seorang Ackerman.

Kupikir, semua akan berjalan seperti ketika kami mengucap janji bersama.
Aku pun merasa yakin bahwa Eren adalah pasangan yang tepat.

Dan itu semua berubah sampai aku bertemu Petra.

Dia adalah cinta pertamaku, sebelum pertemuan dengan Eren terjadi, Petra adalah hidupku, seluruh jiwaku.
Namun hal itu tidak berujung kebahagiaan karena Petra sudah memiliki rumah tangga bersama dengan  sahabatku, Oluo.

Akhirnya kami memilih jalan penuh penyesalan untuk berpisah.

Semenjak itu hidupku hampa, kosong.
Sampai aku bertemu dengan Eren.

Tapi semua kini kembali lagi ke awal,  bertemu Petra mengingatkanku akan masa lalu- aku, merasakan lagi percikan panas untuk memilikinya, dan ia pun juga sama.

Kami berdua masih menyimpan rasa yang sama hingga sekarang.

Menyakiti Eren sudah tentu bukan pilihanku, tapi harus ada yang dikorbankan.

Aku harus memilih.

Mungkin Eren tahu pergolakan yang kurasakan, ia tidak membalas atau melontarkan pertanyaan, malah terdiam- kemudian mengambil bolpoin.
Menulis namanya dengan satu kali tarikan tangan.

Eren ackerman.

Surat cerai sudah terpenuhi, kudongakkan wajahku untuk melihat ekspresinya.

Hatiku mencelos dalam.

Eren tidak menangis, namun ia juga tidak tertawa, wajahnya hampa.

Eren yang selalu ceria bak matahari bersinar, sekarang terasa redup. Matanya kosong tak bernyawa.

Levi Ackerman tentu merasa bersalah.
Oh, sangat malahan.

Kutahan tanganku yang berkeinginan untuk memeluk Eren.
Memberikan afeksi terakhir hanya akan melukainya, pikirku.

Dalam lubuk hati yang terdalam, aku meminta maaf berkali-kali hingga cengkeraman tangan menggerus kulit lengan.

Kugigit bibir kering hingga terasa asin,
"Maaf."

Eren menatap lirih, wajahnya seakan tidak percaya akan sepatah kata yang terlontar dari mulut tanpa kusadari.

"Untuk apa?"

Ya?
Untuk apa kata maaf ini?

Maaf. Maaf. Maaf.
Maafkan aku yang sudah mengecewakanmu.
Maafkan aku yang sudah mengkhianatimu.

Semua kalimat itu bergelung dasyat didalam kerongkongan hingga ke ubun-ubun

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Semua kalimat itu bergelung dasyat didalam kerongkongan hingga ke ubun-ubun.
Tapi semuanya tidak ada yang melesat keluar dari rongga.

Eren menunggu, pertanyaannya tak kuberi jawaban.
Kulihat dia tersenyum kecewa, mungkin merasa tidak berguna untuk mencari tahu lagi, ia melanjutkan;

"Kalau kau ingin bercerai, aku menerima. Tapi tolong, berikanlah alasannya, agar aku dapat memperbaikinya di masa depan, dan memulai lembaran baruku, Levi. Kumohon."

Lelaki mana yang bisa menolak tatapan mata memohon seperti merenggang nyawa itu?

Akupun tidak bisa, sebagaimana aku mencintai Petra, Levi Ackerman juga pernah mencintai Eren.

Kadang kuingin mengutuk takdir yang telah mempertemukanku lagi dengan Petra. Jika aku tidak bertemu dengannya, mungkin kami masih bersama. Eren masih akan menuangkan teh hitam setiap pagi untukku selama sarapan, kami akan pergi keluar dan berkencan di alun kota, berjalan sambil berpegangan tangan, ditutup dengan saling bertukar kehangatan di atas ranjang.

Kalut dalam pikiran, aku tidak menyadari bahwa Eren sudah beranjak pergi sampai terdengar suara pintu kamar tertutup.

Tanganku mengetuk otomatis pintu kayu yang menghalangi kami berdua.
Isak tangis terdengar sayup, aku tahu apa yang sedang Eren lakukan didalam sana.

Kuketuk pintu sekali, tidak ada jawaban.
Sebelum ketukan ke tiga, Eren menyahut pelan.
"Maaf, bisakah beri aku waktu untuk sendiri? Kau tidak akan marah kan kalau malam ini tidur di ruang tamu?"

Bahkan kalau kau minta untuk tidur di kamar mandi hari inipun, aku akan menerimanya.

Tapi tentu Eren ku yang baik hati tidak akan memintaku untuk tidur ditempat kotor seperti disana.

Dengan penuh perasaan semrawut, kutarik kain dari lemari cucian, menutupi sofa. Kemudian melempar beberapa bantal sofa sebagai senderan.

Saat itu, malam terasa lebih panjang dari biasanya.

Aku bermimpi Eren,
kami berdua duduk di taman alun kota seperti masih saat berkencan dulu.
Ia menyodorkan es krim vanilla kesukaannya kearahku, dan es krim itu kugigit hingga habis separuh. Yang mengakibatkan Eren mengambek hingga setengah film layar lebar berputar.

Ketika aku terbangun,
Sofa yang kutiduri sudah dipenuhi dengan bantal kasur dan berselimut kain tebal yang sangat kukenal. Bukan kain buluk yang kuambil sembarang dari dalam lemari cucian.

Eren menyelimutiku dengan selimut favoritnya.

Selimut bercorak bunga Hydrangea yang kami pilih berdua.

-----------

HYDRANGEA - Thank You for Understanding; Frigidity; Heartlessness

The Thousand Blossoms [ Rivaere ]Where stories live. Discover now