Unnoticed - 10

425 108 73
                                    

Jangan lupa vote dan komen nya yaa😊
°
°
°

"DYLAN MANA!!!"

Ovel yang panik segera berlari keluar dari ruang olahraga SMA 1 NUSA BAKTI. Ia kembali mengecek parkiran kemudian berlari lagi menuju gerbang sekolah yang hanya dibuka seperempat berharap Dylan segera menampakkan diri. Pak Rudi sudah hampir menggila. Satu persatu anggota tim basket sudah terkena amukan pak Rudi tak terkecuali Ovel, si manager yang baru menjabat selama lima hari.

"Bagaimana? Dimana dia?" Ovel menggigigit bibir bawahnya.

"Belum ketemu pak." Ia meremas tangannya sendiri. Gugup memang.

"Ya kamu telpon lah, SMS, sekarang sudah ada teknologi yang dinamakan Whatsapp, Line. Perlu saya ajari juga kalian ini menggunakannya?" Pak Rudi memijit pelipisnya. Wajahnya yang sangar serta tatapan tajam matanya seketika mengintimidasi Ovel, seolah berkata kalau gadis itu tidak becus menjadi seorang manager tim. Ovel memencet tombol dial. Bunyi 'tut tut' dari seberang menandakan kalau panggilannya terhubung pada Dylan.

"Ayo diangkat, Dylan. Kamu kemana sih!" ucapnya. Ia menggigiti kuku jarinya, berjalan mondar-mandir di depan pintu gedung olahraga.

"Sudah diangkat?" dan Ovel menggelengkan kepala, respon atas pertanyaan Revan. Sepuluh menit lagi pertandingan akan dimulai sedangkan Dylan masih belum menampakkan batang hidungnya.

"Kok kamu gak tahu sih Dylan ada dimana, bukankah kalian berdua itu sahabat."

"Sumpah Vel. Kalau aku tahu keberadaan Dylan pasti sudah aku seret dia kesini dari tadi." Miko yang tak kalah panik juga berusaha menghubungi Dylan. Mengirimu pemuda itu puluhan pesan bahkan sejak beberapa jam yang lalu.

"Sudah ketemu belum? Pertandingannya mau dimulai ini." Pak Rudi kembali berteriak. Mereka bertiga sama sekali tidak menjawab pertanyaan pak Rudi.

"Coba sekali lagi ditelpon," ucap Revan pada Ovel. Gadis itu mengangguk, lalu kembali menekan tombol dial. Cukup lama panggilan itu tersambung sampai akhirnya Dylan mengangkatnya.

"Diangkat." Lirih Ovel pada kedua pemuda di hadapannya. Revan segera merebut ponsel itu.

"Halo. Dylan, kamu dimana? Tujuh menit lagi pertandingannya di mulai."
Hening. Sesaat tak ada jawaban keluar dari mulut Dylan.

"Dylan, kamu lagi dimana?" kali ini Ovel yang bicara. Ia merebut kembali ponselnya dari tangan Revan.

"Sebentar lagi sampai, ini sudah di depan gerbang." Suaranya serak, entah karena sakit tenggorokan atau sehabis menangis, Ovel juga tak mengetahuinya.

"Ooh oke, aku sudah melihatmu. Ayo percepat langkahnya, pak Rudi sudah mengamuk dari tadi." Dylan mematikan panggilannya. Pemuda itu seakan menyeret langkahnya yang terasa berat itu menuju ke gedung olahraga. Ia ingin pertandingannya cepat selesai, ia ingin segera pulang ke rumah.

Ovel segera melapor kepada pak Rudi. Pria paruh baya dengan tubuh lumayan kekar itu berjalan tergesa-gesa menghampiri Dylan yang sudah berada di ambang pintu. Darahnya mendidih.

"Baru kali ini ya, saya merasa tidak di hargai sebagai seorang guru." Pak Rudi menatap Dylan tajam, yang di tatap malah membuang muka.

"Jam berapa saya suruh kamu kesini, bukannya tepat waktu malah datang terlambat," ucap pak Rudi dengan napas yang memburu.

"Apa kamu tidak malu sama teman temanmu. Mereka semua datang tepat waktu. Lihat tuh manager tim kamu, sudah hampir sekarat karena berlarian mencari kamu." Dylan masih terdiam, ia mencoba mengabaikan ucapan pak Rudi yang masih saja berceloteh di hadapannya.

"Kamu saya beri satu kali lagi kesempatan. Jika kamu berulah lagi, kamu bakalan saya keluarkan dari tim ini, mengerti?"

"Baik pak."

"Sudah. Cepat kesana. Pertandingannya sudah mau dimulai. Bikin kacau saja anak ini." Mereka berempak hendak berlari menuju ke tempat bangku pemain cadangan, dimana 7 orang lainnya menunggu.

"Manager. Kesini!"
Sial. Jantung Ovel seperti hendak berhenti memompa saat mendengar suara pak Rudi yang memanggilnya. Ia kemudian berbalik.

"Saya, pak?" ujarnya. Mata besar Ovel terlihat seperti melotot pada Pak Rudi. Namun sebenarnya gadis itu takut.

"Siapa lagi yang jadi managernya kalau bukan kamu." Pak Rudi berkacak pinggang, terlihat seperti ingin memarahi Ovel. Gadis itu berjalan sepelan mungkin.

Dari ujung sana, Dylan menatapnya sedikit iba, melihat Ovel yang tertunduk, berkali kali mengucapkan kata maaf pada pak Rudi -walaupun ekspresi datarnya itu masih terlihat.

"Kamu harus minta maaf pada Ovel." Revan berucap.

"Aku tahu," Balasnya. Biasanya Dylan tidak terlalu merasa bersalah saat membatalkan hampir semua janjinya dengan Ovel, namun kali ini perasaan bersalah itu tiba-tiba saja muncul, disaat otaknya yang sudah hampir meledak akibat semalam.

Satu masalah muncul lagi.

-Everlyzd-

Hai all. Gimana part ini? Ngebosenin ya 😭😭 huhuu maaf ya gais kalo part ini sedikit ngebosenin dan pendek karena emang di kebut ngerjainnya.😓😓

Jangan lupa vote dan komen nya ya gais♥♥♥, biar jadi vitamin buat Author ngerjain cerita ini.😁😁🌺🌺🌺🌺

Unnoticed (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang