12# Selepasnya, tidak selamanya

458 27 14
                                    

Hati adalah bejana, apabila dipenuhi dengan sesuatu maka tidak tersisa tempat bagi lainnya, dan apabila dipenuhi dengan kecintaan kepada dunia maka dia tersibukkan dari cinta kepada Allah 'Azza wa Jalla dan rasul-Nya dan jadilah manusia tersebut tidak memiliki keinginan kecuali mencari penghasilan.
(As-Syaikh Ibnu Utsaimin)
***

Menunda-nunda perjalanan hati untuk lebih dekat pada surga-Nya merupakan perkara terburuk. Engkau telah menyia-nyiakan waktu yang seharusnya berharga di saat itu menjadi waktu biasa saja. Hari ini hatimu tabah, besok juga tabah, lusa juga tabah, minggu depanpun tetap tabah, dan sekarang masih tetap tabah. Jika begini terus-menerus, maka janganlah engkau mengeluh atas apa yang luput dalam kemewahan bumimu.

Good Morning,

Bumi yang baik!

Pagi inilah awalan dari ajang melupakan. Mari aku tunjukkan pada penghuni semesta, bahwa kita- aku dan bumiku- dapat bahagia. Mengapa aku baru menyanggupi kebahagian pada bumiku sekarang? Kemarin semuanya terasa sulit karena aku tidak mencoba perlahan-lahan. Aku terlalu cepat dan mengekang. Bukannya hal yang dipaksakan tidak baik? Sebab itu, aku harus mencoba pelan-pelan menata hati yang telah menyimpang.

Jika saja besok belum mulai masuk kuliah lagi, aku juga akan perlahan-lahan membereskan barang-barangku. Eits, prinsip ini tidak bisa dianjurkan untuk keadaanku sekarang. Aku sudah menyusun baju-bajuku dalam lemari. Sebelumnya ada begitu banyak yang aku kerjakan kemarin, mulai dari dalam sampai luar rumah. Beginilah nasib orang baru pindahan. Setelah satu minggu aku kembali ke kota perantauan, aku sudah sibuk menyusun barangku dalam beberapa kotak. Minggu depannya, aku langsung meninggalkan kosan lamaku, dan juga aroma angin-Nya. Aku tidak boleh berakhir dengan hati patah bukan? Meski sejatinya hatiku sudah terlatih.

Besok, senin, sudah masuk semester akhir. Akupun perlu tenaga ekstra untuk berkutat dengan semacam emosi suka duka. Yah, ini yang seharusnya aku prioritaskan! Sangat tidak terasa sebentar lagi aku akan memakai toga. Lalu bagaimana mereka, Ayah dan Ibu? Mereka banggakah? Aku menepis semua pikiran yang berpotensi menjatuhkan semangatku untuk meminta ridho mereka.

"Narisa! Biarkan bumimu terus mencari jejak keridhoan mereka," batinku sambil memantapkan jiwaku sangat fokus.

Aku masih melipatkan baju-bajuku di atas kasur sambil sesekali melamun. Tanganku tidak berhenti melipat, sedangkan pikiranku tidak berhenti merenungkan semua kesalahanku selama ini. Bahkan Meisyah sudah duduk di sampingku tidak aku sadari. Saat kasur di sebelahku juga terturun, aku masih dalam keadaan berdiam pikiran.

"Alhamdulillah pagi pertama di kosan baru. Semoga berkah ya Narisa," ucap Meisyah ketika sudah duduk di sampingku.

Aku tidak bergeming sedikitpun.

"Sa... Narisa..."

Meisyah memegang bahu kananku.

"Ah! Iya, kenapa?" aku terlonjak kaget.

"Jadi dari tadi kamu melamun?" Tanya Meisyah.

Aku tersenyum malu-malu.

"Padahal kosan udah disini, tapi pikiran masih di kosan lama." Goda Meisyah sambil mencolek ujung hidungku.

Good Night EarthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang