"Clair, silakan." Tante Fang memanggilku dengan begitu wajar, seolah Clair benar-benar namaku. Sembunyikan identitas asli, bicara seperlunya, tutupi mukamu, duduklah di ujung meja untuk jaga jarak. Itu prosedur pengamanan dari Tante Fang setiap kali aku menangani kasus dan berhadapan dengan orang asing.

Aku menyentuh masker di muka, masih rapi. Bersama tudung hoodie yang menutup kepala, aku terlindung sempurna. Tidak ada kontak mata yang tidak perlu dengan tiga orang di seberang meja. Sekilas pandang saja cukup untuk tahu, mereka cemas tapi berusaha keras bersikap tenang. Fokusku sekarang adalah objek tepat di depanku. Ada telepon cerdas, surat di dalam amplop tertutup, cincin emas perempuan, dan sapu tangan dengan cap bibir.

Ponsel itu milik Pak Alamsyah. Pernah mengirimkan beberapa pesan cinta untuk seseorang tanpa nama. Terbaca oleh sang istri yang kemudian menuduhnya selingkuh. Pak Alam membantah. Katanya, ponsel itu pernah tertinggal di ruang rapat, mungkin telah digunakan orang yang tidak bertanggung jawab. Nomor si anonim tidak bisa dihubungi.

Benda kedua adalah surat yang ditulis oleh kakak Bu Alam. Isinya kesaksian tentang perselingkuhan Pak Alam. Baru ditemukan Bu Alam belum lama ini. Sayangnya, tidak mungkin dikonfirmasi karena kakak Bu Alam telah meninggal dunia sebulan lalu.

Sementara cincin dan sapu tangan itu ditemukan di tas kerja Pak Alam. Lelaki itu mengaku tidak tahu bagaimana benda-benda itu bisa ada di dalamnya.

Benarkah ini kasus perselingkuhan atau hanya fitnah keji untuk menghancurkan rumah tangga mereka? Apa pun itu, kedengaran kayak sinetron banget. Aku sempat tertawa waktu Tante Fang menceritakan kasus teman-teman SMA-nya ini. Tapi aku mau membantu mereka mencari kejelasan. Bersama anugerah kekuatan dan bakat, ada kewajiban dan tanggung jawab.

Aku melepaskan sarung tangan kanan, memaparkan kulitku yang pucat. AC sengaja disetel rendah karena saat berkonsentrasi, aku sering kepanasan dalam balutan hoodie dan masker.

"Sepertinya Clair masih sangat muda," kata Advokat Sylvana mengejutkan. Suaranya terlalu keras untuk jarak tiga meter kami. Tanganku yang sudah terulur berhenti di atas ponsel. "Berapa usiamu anak manis? Tujuh belas?"

Aku melirik Tante Fang, yang kemudian memberi pengacara itu teguran tajam.

"Aku hanya kasihan kalau gadis semuda Clair harus terpapar cerita-cerita seperti ini. Jiwanya bisa terguncang. Apakah Anda memikirkan perkembangan psikologisnya, Iptu Fara?"

Tante Fang hanya mendengkus. Tidak terprovokasi. "Lanjutkan, Clair," katanya.

Aku menyapukan telapak tangan sekitar lima sentimeter di atas ponsel, sekadar mengukur getaran yang dipancarkan benda itu. Harus hati-hati, jangan asal sentuh atau pegang. Dalam beberapa kasus, sebuah benda bisa sangat kuat menghantamku dengan informasi. Contohnya, alat-alat yang digunakan untuk melukai dan membunuh. Advokat Sylvana benar, penampakan kekerasan seperti itu dapat membahayakan aku. Tidak hanya terasa nyata di depan mata, tapi juga dapat mengguncang isi kepalaku. Hati-hati aku membaca ponsel Pak Alam.

Tapi bahkan saat kugenggam, benda itu tidak menampilkan jejak-jejak perselingkuhan. Murni digunakan Pak Alam untuk komunikasi bisnis dan keluarga. Hanya di suatu waktu, ada lelaki lain yang kuduga office boy, diam-diam menggunakannya untuk mengirim pesan kepada sang kekasih.

"Apa kubilang?" kata Pak Alam kepada istrinya saat kuberitahu penampakan yang kudapatkan.

"Tapi Kakak yakin benar melihatmu menggandeng wanita lain," sahut istrinya, dengan mata berkaca-kaca.

"Kak Ina sudah lama sakit. Kata dokternya, kanker bisa mengganggu ingatan. Buktinya, ia lupa mengirimkan suratnya kepadamu. Kalau kamu enggak bongkar-bongkar barang peninggalan Kak Ina, enggak akan ada masalah ini." Pak Alam berbicara dengan halus, sambil mengelus bahu istrinya.

CLAIR [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang