BAB 3

345 122 196
                                    


Reina keluar dari perpustakaan dengan tangan kanan memegang sebuah buku puisi terbaru karya Sapardi.

Langkah Reina terhenti di depan lapangan basket. Karena seorang siswi yang sepertinya kakak kelas Reina, menghalangi jalan gadis itu

Reina menghela nafas, ia benci situasi ini

"Permisi kak," Ucap Reina ramah

"Lo anak baru?" Tanya siswi dengan badge nama 'Sisyana' itu

Reina berdehem pelan "Kenapa?"

"Ditanya sama kakak kelas tuh jawab aja. Gausah pake nanya balik."

"Apa hubungan kakak sama saya yang anak baru atau bukan?"

"Gausah genit deketin Alden."

Reina tersenyum tipis

"Alden? Kalau nyatanya Alden yang deketin saya gimana?" Tanya Reina sambil menatap kakak kelasnya itu

"Kok lo nantangin gini? Eh sadar lo tuh junior. Gue yang senior disini."

"Walaupun saya junior, setidaknya saya tidak menjadi murahan dengan mengejar laki-laki yang jelas-jelas tidak menyukai saya."

Ucapan Reina membuat senior di depannya semakin murka. Dan Reina? Ia tetap tenang seakan tidak takut dengan apa saja yang akan senior itu lakukan kepada dirinya

"Engga mungkin Alden yang deketin lo. Pasti lo yang keganjenan sama dia, iya kan?!" Ucap kakak kelas itu dengan intonasi sedikit naik

"Apalagi seperti ini. Udah engga tahu diri, lari dari kenyataan pula. Miris."

Kakak kelas itu bungkam dengan pernyataan Reina, tanpa banyak bicara Reina segera pergi meninggalkannya yang tentu saja menahan amarah

---

"Gue udah takut lo akan depresi kalau dilabrak kaya gitu. Tapi, lo pintar juga melawan cuma dengan kata-kata." Perkataan seseorang menghentikan langkah Reina yang akan naik ke tangga

"Gue udah tau kalau gue bakal di labrak kaya tadi, makanya gue mempersiapkan diri supaya engga depresi."

Alden terkekeh

Reina diam melihat Alden tertawa, kemudian tak lama tersadar ia tidak boleh jatuh ke pesona laki-laki ini. "Ingat, Langit belum tentu mengizinkan." Batin Reina

"Ikut gue yuk?" Ajak Alden

"Kemana? Gue pelajaran bu Dini."

"Kebetulan, bu Dini engga masuk. Kelas gue kosong tadi."

Reina menatap Alden curiga "Lo bohong."

"Gue serius Reina."

Reina diam memikirkan tawaran Alden "Boleh deh."

Alden tersenyum, kemudian menarik tangan Reina

---

"Rooftop?" Tanya Reina ketika ia dan Alden berhenti di lantai paling atas sekolahnya

"Sini," Ucap Alden sambil membersihkan sofa yang sedikit sudah rapuh namun masih bisa di duduki

Reina berjalan kearah Alden dan duduk di sampingnya

"Kenapa lo ngajak gue kesini?" Tanya Reina

"Lo pasti belum pernah kesini kan?"

Reina mengangguk "Disini sering dipakai anak laki ngerokok, jadi ngapain gue kesini."

Alden diam mengerti, memang benar yang dikatakan Reina jika tidak di Suksih maka rofftop lah tempat anak anak SMA Harapan menghisap benda nikotin tersebut

"Rain, boleh gue tanya?"

Reina menatap Alden "Tanya apa?"

"Kenapa lo menutup diri dari dunia?"

Reina diam, beralih menatap gedung-gedung tinggi yang berada di depannya "Jika diizinkan, gue malah ingin pergi dari bumi. Menghilang ke Neptunus mungkin?"

Reina menghela nafas "Dunia itu banyak tipuannya Al, itu yang bikin gue engga percaya sama makhluk bumi. Selain mereka egois, mereka juga munafik. Mau menang sendiri, bahagia sendiri. Tanpa pernah berpikir bahwa orang lain akan menjadi korban."

"Tapi, lo juga makhluk bumi Rain."

"Karena itu gue gamau terbuka dengan dunia, gue gamau disamakan sama makhluk bumi lainnya."

"Gue aneh ya Al?" Tanya Reina "Mungkin habis ini lo engga akan mau ketemu gue lagi."

Alden menggeleng "Gue engga akan pergi, meski dunia mungkin akan menganggap lo aneh. Atau kalau lo akan pergi ke Neptunus, gue akan ikut."

Reina menatap dalam mata Alden mencari kebohongan disana, namun sayang tak bisa di temukan.

"Gue tahu, sebelum lo membenci bumi lo pernah bahagia di dalamnya."

Ya, Alden benar. Reina pernah bahagia di bumi ketika Langit ada di dalamnya, sekarang Langit telah pergi. Jadi apalagi alasan Reina bahagia di bumi?

"Apapun alasan dulu lo pernah bahagia di bumi, boleh kalau sekarang gue yang jadi alasan bahagia lo?" Tanya Alden lembut dan tulus

Reina tersentak, berusaha mencerna perkataan Alden

"Alden, lo bercanda? Lo baru kenal gue kemarin."

"Mungkin lo butuh waktu Rain, buat percaya ucapan gue."

Reina mengangguk. Alden tersenyum "Gue akan nunggu."

---

Café depan sekolah menjadi pilihan Reina untuk menemukan jawaban hatinya yang bingung harus atau tidak menerima Alden masuk dalam hidupnya

Reina mengeluarkan buku hitam dengan tulisan 'Langit dan Hujan' dari dalam tasnya, juga sebuah pena ditangan kanannya

Langit, apa aku bisa bahagia di bumi? Jika kamu saja sudah tak ada disini.

Aku bingung Lang. haruskah aku biarkan ia masuk dalam hidupku? Sejak kamu pergi, sudah tak ada yang mampu mengganti posisi kamu. 

Apa dia orang yang ditakdirkan tuhan untuk aku? Agar aku bisa berjalan maju tanpa berpikir tentang masa lalu.

Langit, sampai sekarang coklat hangat masih menjadi minuman favoritku. Meski dulu kamu selalu bilang "Jangan banyak minum yang manis, nanti kamu tidak bisa menerima pahitnya hidup."

Dan sekarang aku percaya, aku masih belum bisa menerima kamu pergi. Maaf Langit, semua ini sulit.

Hujan turun bertepatan dengan Reina yang telah meletakkan penanya.

Ia menatap keluar café "Aku percaya kamu engga pernah pergi dari bumi." Gumamnya

-----

Selamat malam minggu semuanyaa❤❤
Semoga suka part ini
vote dan komen ya, jangan cuma siders
Iloveyou all 💚💚

ReinAlden (end)Where stories live. Discover now