Lost

2.6K 603 277
                                    

Gara menekan kuat-kuat Vansnya ke lantai garasi untuk memadamkan bara terakhir di rokoknya. Kemudian dipungutnya lintingan tembakau tersebut untuk kemudian dilempar begitu saja ke arah pagar. Setelahnya ia mencari kunci pintu garasi diantara kunci-kunci lain yang disatukan pada gantungan dompet kunci kesayangannya.

Kedua mata Gara tertumbuk pada salah satu kunci yang diberi gantungan tali sepatu sebagai penanda, mengingat kunci tersebut sangat sering digunakannya dulu. Ide menalikan tali sepatu pada kunci tersebut datang dari Gendis karena Gara seringkali lupa dimana ia menaruhnya. Kalau kunci hilang, Gara tidak bisa masuk ke studio.

Tapi sekarang Gara ingin sengaja menghilangkan kunci tersebut. Kalau Gendis bisa sampai hati tak mau menerima kunci studio miliknya lagi, maka Gara juga bisa menghilangkan kunci yang sama. Supaya tidak ada yang bisa masuk ke studio, supaya Frou terbengkalai selama-lamanya.

Berusaha melupakan masalahnya dengan Gendis dan tidak mau bersedu-sedan di garasi, Gara segera masuk ke dalam rumah melalui pintu garasi yang dari tadi hanya dipandanginya.

Kedatangan Gara di rumah disambut oleh saudaranya yang sedang berkutat di dapur. Gara melengos dan melangkah cepat-cepat, bermaksud menghindari basa-basi dengan Rasio. Untuk apa sih Rasio masih terjaga menjelang pukul dua malam?

"Kopi, Gar?" sayangnya Rasio lebih pandai berbasa-basi ketimbang Gara. Cowok itu tengah mengaduk kopinya dengan gerakan pelan dengan tangan kanan sementara tangan kirinya memegang ponsel.

Gara menggeleng. "Nggak. Thanks."

"Gue bikinin."

Gara menggeleng sekali lagi lalu cepat-cepat menaiki anak tangga.

Anehnya, seiring kaki Gara melangkah pada anak tangga, semakin kuat keinginannya untuk berbalik. Suara dentingan sendok dan cangkir masih terdengar, seolah memanggil-manggil Gara untuk turun kembali.

Gara akhirnya menyerah. Ia berbalik cepat-cepat dan masih mendapati Rasio di dapur, kali ini sedang mencuci sendok.

"Jadi? Kalo jadi, gue bikinin. Sekalian," dengan wajah kalemnya, Rasio ngotot menawarkan.

Gara menggeleng. Tangannya terlipat di depan dada. "Kenapa lo nggak bilang?" tanyanya tanpa pendahuluan.

Setelah menaruh sendok di rak piring, Rasio balik badan. "Bilang apa?" ia turut bertanya.

Gara duduk di anak tangga paling bawah dan menatap Rasio penuh tuntutan. "Lo dan Gendis," tembaknya tanpa ragu.

"Oh," Rasio berjalan menuju mini bar dan meletakkan gelas kopinya disana. "Lupa. Kenapa?"

Kemarahan Gara hampir mencapai ubun-ubun. Lagi-lagi ia berhadapan dengan sisi licik Rasio yang tidak akan pernah disadari siapapun kecuali dirinya.

"Gue nggak ngerti kenapa kalian berdua sengaja sembunyi-sembunyi. Kenapa? Takut gue ganggu?" Gara bertanya tenang meski ingin sekali meluapkan kemarahannya.

"Bukan," Rasio menggeleng santai. "Tadinya gue masih mikir-mikir gimana cara bilang ke lo. Tapi karena kelamaan dan lo nggak ngebahas, ya gue lupa."

Gara mendengus. "Gue nggak ngerti cara pikir lo."

"Sama. Gue juga nggak ngerti cara pikir gue," Rasio tersenyum. "Tapi kadang-kadang gue nekat. Kalo gue pengen sesuatu, gue harus dapetin sesuatu itu."

Sebelum Gara sempat membuka mulut, Rasio cepat menyambar.

"Termasuk Gendis. Kita pernah ngomongin ini sebelumnya, kan?"

Gara masih duduk di anak tangga, sementara Rasio sudah menarik salah satu kursi mini bar dan melupakan sejenak kopinya yang masih menguarkan aroma.

FrouTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon