Home

2.7K 552 123
                                    

Saint Fiction - Home

------

Pasca Gendis digiring Bam keluar dari studio, Gara belum bisa meredakan gemetar di tangan kanannya. Telapak tangannya seperti teraliri listrik tanpa henti, membuat Gara sulit mengendalikannya. Napasnya memburu, pelupuk matanya yang tertuju pada telapak tangan itu basah.

Ia tidak percaya beberapa menit lalu telapak tangan itu mendarat di pipi Gendis dan menghasilkan semburat merah yang pasti perih luar biasa.

Gara terduduk di sofa. Bahkan kekuatan untuk menopang tubuh menguap tak berbekas. Yang muncul di pikirannya saat ini adalah bagaimana caranya ia memutar waktu untuk menghentikan gerakan tangannya pada Gendis. Tapi tentu saja sia-sia, tidak ada yang bisa diperbaiki sekarang.

Rasio sudah keluar dari studio sejak beberapa menit lalu, bersikeras mengantar Gendis pulang walaupun Bam sudah melarangnya. Gara tidak mau tau bagaimana kelanjutannya. Membiarkan manusia itu bernapas saja adalah sebuah prestasi.

Entah sudah berapa jam berlalu ketika pintu studio terbuka. Bam sudah datang kembali, dan Gara tak berminat menyambutnya.

"Goblok banget lo, Gar."

Iya, Gara sudah tau. Bam tidak perlu memperjelas.

Bam duduk menghadap ke arah Gara di kursi putar lalu menggeleng-geleng prihatin.

"Gue nganter Gendis sampe kosannya. Dia nggak berhenti nangis sepanjang jalan," kata-kata Bam terasa menusuk sendi-sendi Gara. "Sakit lo, Gar, bisa-bisanya nampar cewek. Lo nyadar nggak, sih, lo nampar Gendis? Gendis, Gar, yang kalo nggak ada kabarnya dikit aja langsung bikin lo uring-uringan."

Gara diam, merasa tidak perlu membalas tajamnya kata-kata Bam. Tidak ada pembelaan diri maupun klarifikasi. Semua sudah jelas, menampar Gendis adalah kesalahan yang tidak pantas dimaafkan.

"Gue sempet cekcok sama Rasio tadi," lanjut Bam, yang berhasil membuat kepala Gara terangkat. "Dia mau nganterin Gendis pulang, tapi gue larang. Dia malah ngotot. Mau Rasio pacarnya Gendis kek, mau babu kek, nggak peduli gue. Di situasi kayak gini Gendis nggak boleh deket-deket sama setan kayak lo berdua."

Bam yang menekankan amarah pada setiap kalimatnya membuat sudut bibir Gara terangkat. Setidaknya Bam juga tidak memberi izin pada Rasio untuk dekat-dekat dengan Gendis-nya.

"Lo mau tidur disini aja, Gar? Apa di kosan gue?" tawar Bam kemudian.

"Disini aja. Lagian gue kayaknya nggak bakal tidur," sahut Gara lirih.

Bam sempat memperhatikan Gara selama beberapa detik sebelum bersuara. "Kontrol diri lo. Gue ngerti lo tadi dikendaliin emosi sampe-sampe tangan lo enteng banget. Nggak gampang untuk minta maaf ke Gendis, tapi gue tau cewek itu masih peduli sama lo."

"Udah enggak, Bam," Gara memilih untuk menolak hipotesis temannya itu. "Lo tadi denger, kan, Gendis bilang nggak mau ikut campur kehidupan gue lagi? Udah selesai. Dia udah nggak peduli. Udah capek."

"Gendis bukan orang kayak gitu. Gue aja yakin, masa lo enggak?"

"Setelah gue nyakitin dia? Sangsi gue," Gara tersenyum getir.

Bam tak mampu membalas kata-kata Gara. Mungkin menghibur adalah hal yang sia-sia untuk dilakukan sekarang karena Gara sedang ditimpa ribuan ton rasa bersalah.

"Jangan nyerah, Gar. Masih bisa diperbaiki," Bam menepuk-nepuk pundak Gara penuh simpati. "Mungkin butuh waktu lama, tapi lo sabar aja. Udah banyak yang lo lakuin ke Gendis, masa iya dia nggak peduliin lo lagi?"

FrouWhere stories live. Discover now