Self-Reflecting Room

2.7K 556 128
                                    

Eleventwelfth - Self-Reflecting Room

Gara membuka kedua matanya bersamaan dengan rasa perih yang seketika menjalar di seluruh wajahnya. Kemudian perlahan-lahan kesadarannya terkumpul kembali bersamaan dengan seluruh inderanya yang mulai bekerja.

Butuh waktu beberapa detik bagi Gara untuk menyadari ia sedang berada di ranjang rumah sakit dengan beberapa bagian tubuh diperban dan sulit digerakkan.

"Gara."

Suara yang pertama kali didengarnya itu datang dari Gendis yang duduk di samping ranjangnya. Gara menoleh sembari susah payah meraih tangan Gendis untuk menunjukkan rasa senangnya karena ialah yang dilihatnya pertama kali.

"Jangan banyak gerak, nanti badan kamu kerasa sakit lagi," sergah Gendis seraya menahan tangan Gara.

"Gue kenapa, Dis?" pelan, Gara bertanya.

Gendis tidak menjawab, yang dianggap Gara sebagai sinyal baginya untuk mencerna semuanya oleh otaknya sendiri.

Sakit di tubuh dan bengkak di wajah perlahan-lahan membangunkan ingatan Gara. Ah, ia ingat. Yang pertama kali diingatnya adalah wajah Rasio, lalu tubuhnya yang membentur permukaan keras hingga akhirnya ia tak sadarkan diri.

"Bunda gimana?" Gara bergumam tanpa sadar.

Gara tak mendapat jawaban dari Gendis bahkan setelah ia menatapnya lurus untuk meminta apa yang ingin diketahuinya. Gendis bungkam, untuk kedua kalinya memaksa Gara mengingat-ingat sendiri. Kabar terakhir yang diingatnya adalah Bunda kritis lalu dokter dan suster tergopoh-gopoh masukke kamar. Setelah itu Gara hanya menunggu dengan cemas hingga akhirnya dokter keluar kamar dan...

Bunda sudah tiada.

Gara spontan mencengkeram sprei sambil menatap Gendis, yang disambut gadis itu dengan usapan lembut pada lengan.

"Kamu mau makan?" Gendis buru-buruk beranjak.

"Gue mau ketemu Bunda," potong Gara, bola matanya bergerak kesana-kemari terlihat kalut.

"Gara--"

"Gue mau ketemu Bunda, Dis!" Gara menepis kasar tangan Gendis.

Gendis diam, terkejut karena Gara membentaknya. Tak sampai disana, cowok itu sekarang berusaha turun dari ranjang dan tak mau mendengar larangan Gendis.

"Besok ya, Gar. Malem ini kamu istirahat dulu disini."

"Gue mau ketemu Bunda!" Gara membentak. Tatapannya tertumpu pada jam dinding di salah satu sisi kamar. Sisa sepuluh menit sebelum pukul dua belas malam, yang artinya sudah empat jam ia tidak sadarkan diri. "Maksud lo 'besok' adalah gue ketemu Bunda di pemakamannya? Iya?"

"Enggak, Gara, bukan gitu. Kamu nggak boleh banyak gerak dulu." 

"Lo nggak berhak ngelarang gue buat ketemu Bunda!" ada kilatan marah bercampur sedih pada tatapan Gara, tatapan yang sama seperti beberapa bulan lalu saat ia sedang tertekan luar biasa.

"Bunda udah nggak ada. Kamu harusnya sadar, dong!" Gendis berseru dengan isak tertahan. Perasaan campur aduk membuatnya berani berkata demikian. "Kalo kamu ketemu Bunda dengan kondisi kayak gini, situasi apa yang bakal berubah, Gar? Nggak ada! Kamu liat dong kondisi kamu sekarang. Apa Bunda nggak makin sedih? Kamu mau nunjukkin diri kamu yang kayak gini ke dia, hah?"

Cengkeraman Gara pada sprei melonggar, tatapan marahnya melunak dan kepalanya tertunduk dalam.

"Kali ini aku nggak bisa turutin kemauan kamu, Gar. Kamu bakal tetep disini sampe besok," tegas Gendis.

FrouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang