[extra] About Frou Studio

3K 530 79
                                    

Gue bekerja keras untuk membangun studio Frou. Dalam artian gue berusaha menciptakan suasana yang bikin Gendis nyaman. Kalo ditanya susah atau enggak? Jawabannya susah. Gue tau Gendis bukan jenis orang yang mudah beradaptasi dengan tempat dan suasana baru. Dia butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri dan hasilnya nggak selalu bagus. Kalau dia betah, maka dia akan tetap disana. Kalau enggak, dia bakal pergi dan nggak mau mengunjungi tempat itu lagi.

Untuk itu, ketika gue bilang ada kerja keras yang gue curahkan sepenuhnya untuk membangun studio Frou, gue nggak main-main. Gue mencari tempat yang dekat dengan kosan dia, tempat yang kira-kira pernah dia lewati walaupun nggak sering. Akhirnya ketemu juga satu kamar kosong di bangunan kos Bam. Gue sangat sadar bahwa kalau gue jadi mengambil kamar ini untuk dijadikan studio, gue harus mengetatkan pengamanan pada Gendis karena ini kosan cowok. Gue nggak mau ada kejadian aneh-aneh.

Studio Frou nggak luas, tapi nggak sempit juga. Ya cukuplah untuk gue dan Gendis ditambah kalau Frou ngundang tamu buat ngisi siaran. Di dalam kamar itu, gue taruh barang-barang yang ada di rumah gue. Mulai dari sofa, karpet, meja, dua kursi buat gue dan Gendis siaran, dan barang-barang lainnya yang sekiranya sesuai dengan kebutuhan Gendis.

Wait, kayaknya gue terlalu sering menyebutkan 'untuk Gendis', ya? Hahaha, karena kenyataannya memang demikian. Gue membangun Frou untuk Gendis. Lalu gue dapet apa? Tenang, gue dapet senengnya aja kalo Gendis seneng. Sederhana aja, nggak neko-neko.

Gue tau Gendis suka melukis. Maka gue sediakan tembok kosong tempat menempelkan lukisan dia, yang ternyata sama dia nggak cuma diisi lukisan melainkan tulisan, foto, atau apapun yang pengen Gendis tempel disana, termasuk stiker hadiah ciki. Nggak apa-apa, itu area tembok Gendis, dia bebas nempelin apapun disana biar berasa kayak di kamar sendiri.

Gue juga punya tembok sendiri. Disini gue tempelin poster band-band pop punk kesayangan gue beserta poster acara dimana band gue pernah diundang. Oh, gue juga menempel foto Avril Lavigne biar kayak remaja tanggung di tahun 2005, foto Iwan Fals sebagai pengingat bahwa hidup itu keras, foto Bu Megawati untuk menyadarkan bahwa pernah ada presiden perempuan di Indonesia (oke, gue tau ini sangat nggak penting), dan foto orang-orang lainnya yang gue tempel sebagai pelengkap.

Tembok gue dan Gendis dibingkai oleh lampu hias. Apa sebutannya? Lampu tumblr, ya? Tau, kan, lampu kuning bentuk cabe berjejer yang kerlap-kerlip itu? Itu ide Gendis. Karena prinsip dia, tempat apapun yang dikasih lampu cabe bakal kelihatan indah. Oke, terserah Gendis.

Pada lampu cabe itu, Gendis menggantung foto-foto gue dan dia. Kayak pacaran aja, sayangnya bukan. Gue dan Gendis memang sengaja berfoto banyak-banyak, biar ada bahan buat diomongin sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Setiap ada tamu radio yang datang, mereka selalu nanya kenapa ada foto gue dan Gendis. Mereka pikir kita pacaran. Gue ketawain aja, foto bareng bukan berarti pacaran, brengsek. Wah sori nih emosi, gue masih sedih aja dengan fakta bahwa nggak ada hubungan apa-apa antara gue dan Gendis karena kita takut untuk menegaskan maunya bagaimana. Udahlah, sedih gue.

Agak ke pinggir ruangan, gue menaruh sofa dan meja kecil di sampingnya. Di bawah sofa, gue menggelar karpet berbulu. Disanalah gue dan Gendis menghabiskan waktu selain siaran. Gendis lebih suka di sofa, gue lebih suka di karpet. Gendis sering banget ketiduran di sofa, nangis, ketawa sampai kehabisan napas, marah-marah, pokoknya sofa itu udah jadi saksi hidup Gendis. Sementara gue lebih punya keterikatan batin dengan karpet, tempat dimana gue ngeliatin Gendis pas tidur dan tempat dimana badan gue nggak sengaja diinjak tiap Gendis turun dari sofa dalam keadaan setengah bangun. Iya, Gendis sering banget bangun tidur dan langsung nginjek badan gue yang lagi rebahan di karpet.

Sewaktu-waktu, gue dan Gendis duduk berhadapan di karpet kalau lagi makan atau lagi diskusi materi radio. Gendis orangnya nggak betah berlama-lama dalam posisi yang sama, makanya dia kadang-kadang duduk sila, duduk dengan ngangkat satu lututnya, rebahan, tengkurap, terserah dia maunya gimana. 

Di sisi kanan, gue menaruh lemari rendah tempat menyimpan arsip, stok cemilan, dan barang-barang nggak penting lainnya. Lalu untuk menegaskan bahwa studio Frou ini punya gue dan Gendis, cewek itu nyetok pembalut di dalam lemari tersebut. Nggak apa-apa, Dis, gue tau lo panik kalau 'dapet' tanpa persiapan apa-apa. Nah, di atas meja rendah itu, ada aja barang yang ditaruh disana. Jaket gue, jaket Gendis, tas kita, buku, berkas skripsi, laptop, macem-macem. Pokoknya kalau ada barang gue dan Gendis yang hilang, kita kompak untuk langsung nunjuk lemari itu.

Di sebelah pintu, Gendis menggantung sebuah papan tulis. Ini salah satu petak favorit gue di studio. Pada papan tulis itu, gue dan Gendis saling ninggalin pesan karena selain waktu siaran, kita rajin kesini cuma buat numpang hidup. Macem-macem pesan yang tertulis disana, matiin lampu lah, buang sampah bekas makan lah, jadwal liputan buat radio, jadwal bintang tamu yang dateng, sampai curhatan nggak penting kita. Pada papan tulis itu, gue mengenal gaya menulis Gendis dan cukup terhibur karenanya. Gendis lebih ekspresif di tulisan ternyata, mungkin ketika berhadapan dengan gue, dia nggak bisa lepas mengeluarkan hal-hal yang pengen dia katakan.

Tapi tentu aja, dari semua petak di ruangan ini, gue paling suka meja siaran. Disana gue dibuat jatuh hati kepada Gendis berkali-kali. Oke, oke, gue lebay. Tapi kapan-kapan lo harus denger dan lihat betapa bahagianya Gendis tiap siaran. Gue selalu duduk di sebelah dia tiap siaran, mulai dari menenangkan kegugupan dia terutama di minggu-minggu awal siaran, ngetawain dia tiap lidahnya kepeleset, hingga memilih untuk nggak melakukan apa-apa kecuali ngeliatin dia dari samping. Di meja siaran itu, gue juga pernah meluk Gendis. Hahaha, ya begitulah. Meja siaran ini sakral banget buat kita berdua, makanya gue nggak suka ketika ada orang yang duduk disana. Lo boleh menginjakkan kaki di seluruh penjuru studio, tapi jangan di area meja siaran.

Itu area gue dan Gendis. Titik.

Anak-anak bangunan kosan itu mungkin udah nggak heran kali ya liat gue dan Gendis keluar dari studio pagi-pagi, mengingat kita berdua bukan penghuni sana. Apalagi melihat Gendis, gue udah bisa membayangkan gimana isi pikiran cowok-cowok itu. Bukan, gue bukannya bodo amat dengan norma dan etika di masyarakat, cuma kan, lo nggak bisa selalu ngontrol omongan apa yang beredar disana. Jadi, daripada dipusingkan dengan desas-desus, kita memilih untuk bodo amat. Toh di studio kita nggak ngapa-ngapain kecuali siaran, ngobrol, dan bolak-balik pesan makanan. 

Orang-orang di luar sana nggak tau bahwa studio Frou adalah pelarian terbaik untuk gue dan Gendis. Ini rumah kedua kita, ini tempat dimana nggak ada ketakutan yang mengekang kita. Gue dan Gendis ngerasa bebas di studio karena kita cuma punya satu sama lain dan pendengar.

Inilah yang tadi gue maksud dengan membangun studio Frou untuk Gendis. Gue nggak memusingkan harus kabur kemana dari masalah-masalah gue, tapi Gendis nggak bisa kayak gitu. Kemanapun dia kabur, harus ada sesuatu familiar yang bikin dia tenang. Studio Frou ini gue rancang sedemikian rupa supaya jadi tempat kabur yang nggak terlalu asing buat Gendis.

Untuk mempersingkat narasi panjang gue ini, gue berani mengatakan bahwa ada ekosistem yang sengaja gue sediakan untuk Gendis, untuk mengikat biar pelarian dia tetap sama gue. Kesannya gue ini posesif, ya? Hahaha, gue pikir sih memang iya. Gue nggak memungkiri bahwa gue butuh Gendis, dan studio ini adalah tempat dimana gue bisa memiliki Gendis tanpa rebutan dengan yang lain.

Ada yang bilang bahwa studio ini adalah penjara yang gue desain dengan cantik untuk memenjarakan Gendis. Bukan kayak gitu. Lo terlalu jahat kalau berpikir demikian. Studio Frou bukan penjara. Ini hanya tempat yang menampung gue dan Gendis sejujur-jujurnya sebagai manusia tanpa takut gimana pandangan orang lain. Ini tempat teraman kita.

Bentar, ada yang ngetuk pintu.

Paling mas-mas pesan antar atau satpam yang minta mobil gue dipindahin, jadi gue cepet-cepet buka pintu. Tapi begitu gue membuka satu-satunya penghalang antara dunia Gara-Gendis dan dunia luar, gue akhirnya disadarkan bahwa tempat ini nggak aman lagi.

"Masuk, Yo," gue persilakan sang pengetuk pintu masuk.

Namanya Rasio Andromeda. Dia monster yang menginjak-injak studio Frou sampai runtuh dan rata dengan tanah.

Kayak sekarang.

----

Author's Note: maaf ya tiba-tiba dan nggak penting banget. Ini bukan chapter lanjutan. Aku cuma kangen studio Frou sebagaimana seharusnya :(





FrouWhere stories live. Discover now