"Dan kalau sama kamu dia jadi jutek gitu?"

"Iya gitu." Chilla menghela napas.

"Enggak apa, 'kan masih ada teman lain, dan aku." Sivan memberikan senyuman pada Chilla.

"Boleh, Sivan mau jadi teman Chilla?"

Sivan mengangguk, "Ayo, kita ke penjaga perpus, ini sudah selesai."

Sivan mengajak Chilla ke penjaga perpustakaan, meminjam buku-bukunya dan membawanya ke kelas. Bu Yasna melihat kedua muridnya datang, memberikan tugas yang sama seperti murid lain dan memintanya mengerjakan sekarang juga. Dean yang menoleh sekilas ke arah Chilla dan Sivan pun abai kembali, melipat tangannya dan menundukkan kepala lagi.

Chilla kembali ke bangkunya, bangkunya sepi ternyata teman sebangkunya tadi telah berpindah bangku, Rara meminta maaf. Chilla kembali sedih, anak lelaki di depannya jutek, Rara pun memilih duduk di bangku lain. Ia menoleh ke samping, Sivan tersenyum manis dan memberikan jempolnya pada Chilla, perlahan gadis kecil itu merasa baik-baik saja. Ada orang lain selain Izann yang bisa membuatnya merasa baik-baik saja.

Bel istirahat berbunyi, Fahri mengajak Sivan ke kantin bersama. Sivan menoleh ke bangku Chilla, tidak menemukan gadis kecil itu di sana juga dengan anak lekaki di depannya. Sivan diajak Fahri ke ruangan seperti aula yang besar, di sana seluruh murid berjajar sesuai jenis kelamin mereka. Sivan dan Fahri berbaris memanjang di barisan lelaki, matanya melihat ke arah barisan anak perempuan, menemukan Chilla di sana, saat menoleh ke arahnya, Sivan memberikan jempolnya. Erchilla menunjukkan jempolnya juga pada Sivan, pertanda Ia baik-baik saja. Jempol Chilla turun dan melihat wajah anak lelaki tampan bernama Dean.

Chilla melambaikan tangannya pada Dean, menyapanya, sayangnya yang disapa justru abai. Dean yang berdiri dengan teman lelaki sekelasnya berjarak empat anak dari Sivan pun tak pedulikan sapaan Chilla. Dean mengambil nampan yang diberikan koki kantin, bersamaan dengan Zena yang juga mengambil nampan, melihat ada banyak bangku yang sudah ditempati.

"Dean, udah dapat bangku?"

"Belum, Kak Zena juga?"

"Oh, itu ada yang kosong!" seru Zena menuding bangku di mana Chilla duduk.

"Enggak, eh, Kak Zena!" seru Dean yang akan menolak, tapi Dean akhirnya menuruti langkah Kak Zena.

Di bangku panjang itu sudah ada sejumlah murid lain, tapi masih bisa menampung beberapa muri lagi. Chilla senang sekali Dean mau datang dan duduk dengannya. Zena tersenyum pada Chilla, menyapanya dan duduk, tapi berbeda dengan Dean yang enggan duduk di sini.

"Dean juga ambil capcay? Chilla juga ambil. Dean mau baso enggak? Punya Chilla dapat banyak nih!" tawar Chilla pada Dean.

"Enggak, Dean udah cukup ini." Dean berkata jutek.

"Chilla, boleh kakak duduk di sini?" tanya seseorang.

Chilla menoleh ke samping kirinya, "Kak Izann! Boleh dong, ayo duduk aja Kak."

"Terima kasih, halo Zena, Dean."

Zena tersenyum, "Kukira sudah dapat bangku duduk."

"Sudah, tapi tahu Chilla di sini, pindah ke sini." Izann menaruh nampannya tersenyum ke Zena.

"Oh begitu," kata Zena pada Izann.

"Aku kira belum dapat tempat duduk, Chil." Suara anak lelaki lain di samping kanan Chilla, Sivan.

"Eh, Chilla ini enggak ada yang nempati 'kan? Boleh kita duduk di sini?" tanya Fahri.

"Duduk aja, kosong kok." Chilla memberitahu.

Whiffler [END]Where stories live. Discover now