Part 1

331K 19.9K 2K
                                    

Maaf kalau masih banyak typo dan bahasa asing yg belum di-italic.

Suara gemericik air keran di dapur terdengar syahdu dari kamar. Rumah Argan mungkin tidak seluas rumah orang tua Nara, tapi gadis itu cukup nyaman tinggal di rumah yang berdesain minimalis tapi terlihat cukup luas dan tidak sesak. Ia akui, penataan ruang rumah ini cukup bagus dan tepat meletakkan segala sesuatu. Tak banyak barang dan hanya memprioritaskan membeli peralatan rumah tangga yang memang benar-benar penting dan dibutuhkan.

Nara mematut diri di cermin. Ia sudah mengikat rambutnya dan terlihat rapi. Ia memilih kemeja warna biru muda dengan celana jeans dan satu tas ransel diselempangkan di bahunya. Gaya berpakaiannya memang tomboy dan kasual, tapi dia nyaman tampil apa adanya tanpa make up berlebih. Cukup sun screen dan bedak tabur tipis jadi pilihan sehari-hari. Wajahnya memang sudah cantik, halus, cerah, dan bersih. Ia tak perlu banyak polesan untuk membuatnya menarik.

Nara keluar kamar. Ia melirik Argan tengah mencuci piring, sedang Sakha duduk melahap menu sarapan. Selesai mencuci piring, Argan yang sudah rapi dengan kemejanya melirik Nara yang mematung.

"Duduklah, sarapan dulu," ucap laki-laki itu datar.

Nara yang memang merasa lapar menuruti permintaan sang suami. Sebenarnya ia tak biasa sarapan, tapi kali ini perutnya keroncongan.

Nara duduk di sebelah Sakha. Ia menatap hidangan yang tersaji. Nasi, ayam goreng, dan capcay.

"Hai, Sakha." Nara mencoba menetralkan kecanggungan yang ia rasakan dengan menyapa anak tirinya.

Sakha terdiam dan melirik ibu tiri mudanya sekilas. Ia hanya tersenyum sedikit, senyum yang dipaksakan. Argan meletakkan piring di hadapan Nara. Bahkan ia juga mengambilkan segelas air.  Setelah itu, ia duduk di depan Sakha dan Nara dengan satu bentang meja yang menjadi jarak.

"Bapak yang masak semua ini?" tanya Nara yang mengambil nasi setelah Argan selesai mengambil nasi untuk dirinya sendiri.

"Iya saya yang masak. Kalau bukan saya siapa lagi. Sudah tiga tahun sejak kepergian ibunya Sakha, saya selalu menyiapkan segalanya sendiri."

Nara tahu seorang istri biasanya mengerjakan pekerjaan dapur seperti ini, tapi dia belum berminat untuk belajar memasak. Toh, Argan setuju-setuju saja ketika dia mengajukan persyaratan untuk tak mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

"Bapak nggak mempekerjakan asisten rumah tangga?" tanya Nara dengan polosnya.

Argan tersenyum tipis. Rasa-rasanya baru kali ini Nara melihat Argan tersenyum.

"Ada seorang asisten yang datang setiap tiga kali seminggu. Pekerjaannya menyetrika, bersih-bersih rumah, mencuci baju, menyapu ruang dalam rumah dan halaman. Dia mengerjakan apa yang tidak sempat saya kerjakan. Tapi tanpa dia sekalipun, saya bisa mengerjakan apa saja asal sedang ada cukup free time."

"Baguslah. Saya belum berminat mengerjakan pekerjaan rumah tangga," balas Nara lalu menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.

"Saya masih ingat poin ketiga yang kamu ajukan. Saya simpan kertas bertuliskan poin-poin itu di laci nakas biar saya nggak lupa. Saya nggak akan meminta kamu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kamu istri saya, bukan asisten rumah tangga," sahut Pak Dosen tanpa menatap Nara yang tergugu mendengar penuturan Argan.

Jleb ... kamu istri saya, bukan asisten rumah tangga. Dan sesuai kesepakatan, Nara meminta Argan untuk tidak menganggapnya istri.

Sakha menyudahi makanannya. Ia tak menghabiskan menu sarapannya.

"Kok, sudah selesai? Dihabiskan Sakha, jangan terbiasa menyisakan makanan!" Tatapan Argan menyasar pada piring di depan Sakha.

"Sakha udah kenyang Ayah," bibir anak kelas tiga SD itu mengerucut.

Dear Pak Dosen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang