"Kamu putera Pak Dirga bukan?" tanya Micha pada anak lelaki itu.

Anak lelaki yang berkaus abu-abu itu turun dari sepedanya dan menghampiri Micha, "Benar, Paman. Erchillanya ada?"

"Chilla tidur, mungkin akan bangun tidak lama lagi, kamu mau tunggu atau nanti balik lagi?"

"Nanti aku balik lagi aja, Paman. Erchilla bilang jika mau belajar bersama di sini, boleh enggak Paman?" tanya anak lelaki itu.

"Boleh, itu lebih bagus karena Chilla ada teman belajar yang lebih tua darinya, nanti kamu balik lagi ya sekitar jam enam, sekalian makan malam bareng," tawar Micha.

"Terima kasih, Paman. Nanti Izann balik lagi," pamit anak lelaki itu pada Micha.

Micha mengangguk pada bocah lelaki yang terpaut usia cukup jauh dari puterinya itu. Bibi Ramonah dan Nenek Ash sudah bercerita jika ada putera Pak Dirga yang ternyata kenal dan berteman dengan Erchilla. Pak Dirga pernah mengundang warga kompleks dua tahun lalu karena mengangkat anak berusia sepuluh tahun yang tampan. Tapi, sikap dan kasih sayang Pak Dirga dan isterinya sama seperti anak kandung mereka sendiri.

Micha kembali ke dalam, memberitahu Bibi Ramonah jika nanti akan ada teman Chilla yang datang bernama Izann, kemudian ke kamarnya untuk membersihkan dirinya. Erchilla terbangum setelah empat puluh lima menit tertidur. Ia melihat sekelilingnya yang dikenali sebagai kamar tidurnya, kemudian bangkit dan memeluk Simba yang menjilati jempolnya. Chilla turun mendekati boneka Alanza, tapi masih saja diam seperti boneka lainnya.

"Eh, Non udah bangun. Mau mandi enggak? Bibi siapin air panasnya ya?"

"Iya, Bi. Papa mana?"

"Ada di belakang, Bibi panggilin?"

"Enggak, Chilla mau mandi aja," kata Chilla yang mulai melepas bajunya.

Simba melompat-lompat menangkap helaian baju Chilla, terakhir kucing itu tertelungkup pakaian dan bergerak ke kanan-kiri. Chilla tertawa kecil dan berlari ke kamar mandi, Simba mencari tuannya ke sekitar dan akhirnya mengeong menemukan tuannya di kamar mandi.

"Kucing nakal! Ngintip anak perempuan mandi, sana!" Chilla mengusir Simba dan menutup pintu kamar mandi.

Simba di luar mengeong dan mencakar pintu kamar mandi, ingin ikut mandi. Erchilla mandi dengan cepat, keluar dengan memakai baju handuk dan langsung mendapatkan pelukan Simba yang manja. Erchilla mengenakan pakaiannya meski sedikit malu dilihat kucing lelaki itu.

Micha menikmati sorenya dengan melihat sekeliling rumah huninya, apa yang perlu diperbaiki dan dirubah jika perlu, sampai sebuah suara yang imut dan khas memanggilnya.

"Anak papa udah bangun, udah mandi belum?" tanya Micha yang merentangkan tangannya.

"Udah."

"Tadi ada Kak Izann ke sini cariin Chilla pas tidur, nanti mau balik lagi dan belajar bersama, benar?"

"Huum, Chilla minta diajarin Kak Izann karena mau belajar sama Dean nanti digangguin Dinosaurus, Chilla takut."

"Dean anaknya Pak Kezlin di sana?"

"Iya, Dinosaurus nakal suka deketin Chilla, Pa."

"Namanya juga binatang, maunya dimanja kayak Simba." Micha berkomentar.

Micha membawa Chilla masuk, langit sudah mulai gelap dan aroma masakan Bibi Ramonah sudah tercium menggoda. Izann benar datang pukul enam petang, pamit pada papa dan mamanya untuk pergi ke rumah Erchilla belajar bersama. Chilla senang karena Izann mau menemaninya belajar setelah makan malam manis mereka. Erchilla masuk ke dalam kamar untuk mengambil buku pelajarannya, melihat sekilas ke arah boneka cantik itu, masih tetap tak bergerak. Chilla menutup pintu kamarnya dengan sedih, merasa kesepian dan merasa ditinggalkan.

Sementara Alanza di luar, tengah terpaku dan air matanya keluar, ketika berpapasan dengan segerombol suster dan perawat yang menerobos ruhnya. Lelaki di atas meja periksa itu masih dikenalinya dengan baik meski berdarah-darah bercampur debu aspal. Kaki Alanza melangkah mengikuti mereka yang berjalan cepat ke ruangan kosong dan memberikan pertolongan pertama pada lelaki itu, mengabaikan sosok yang sedari tadi duduk di salah satu deretan kursi tunggu pasien IGD, berpura-pura memperhatikan televisi yang menyiarkan berita soal jatuhnya pesawat salah satu maskapai penerbangan domestik.

"Alfian! Alfian apa yang tengah terjadi padamu!" Alanza meneriakkan nama lelaki yang pernah mengisi hidupnya.

Alfian menggerakkan kelopak matanya, melihat penerang ruangan yang silau kemudian melihat sebuah sosok yang terlihat samar dan sedikit jelas bergantian dengan suster dan dokter memeriksanya.

"Pak, Pak! Sadar, Pak! Detak jantungnya melemah," kata seorang suster melapor.

"Alfian, ada apa denganmu, bertahanlah!" Alanza menatap sedih.

"A... Ala...Za.. m-maafkan... aku, maaf." Alfian berkata begitu lirih.

Dokter datang memberikan kejut jantung di dada Alfian setelah memompa jantungnya yang tak bereaksi. Alanza membungkam mulutnya dan melongo melihat bagaimana ruh Alfian keluar dari raganya, seperti kabut yang dibentuk rupanya dan berdiri menatap Alanza yang hampir pingsan.

"Aku tidak yakin bisa bertemu denganmu dalam situasi seperti... ini. Tapi, mungkin ini sudah jalanNya, aku bisa meminta maaf padamu dengan setulus hatiku. Maafkan aku yang melukai perasaanmu, Alanza." Alfian berdiri canggung di hadapan Alanza.

Air mata Alanza turun, bibirnya masih terbuka meski kecil dan matanya melongo menyaksikan keagungan Tuhan yang jarang dijalani sebagian besar orang. Ketukan sepatu yang datang membungkam suara lain di sisi lain dunia. Alfian dan Alanza menoleh bersamaan ke arah lelaki berstelan hitam yang selalu rapi apapun yang terjadi.

"Masih ada yang ingin kalian sampaikan?" tanyanya dengan suara datar tanpa ekspresi.

Alanza menoleh pada Alfian yang tersenyum pasrah, "Aku mungkin sakit hati dengan hubungan kita, tapi aku tak pernah berharap berpisah denganmu dengan sekat abadi."

"Tidak apa, Alanza. Ini sudah takdirku, bukan? Mau dikata apalagi? Kembalilah ke ragamu, hiduplah dengan baik meski tanpa aku, Al. Aku akan menyesal di neraka jika kau sedih di sini." Alfian mengangkat tangannya menyentuh pipi Alanza lembut.

Sentuhan yang sempat dirindukan Alanza dengan segenap hatinya itu hanya sepersekian detik, karena Sarchie mempersilakannya untuk ikut.

Bunyi mesin pendeteksi detak jantung membuat Alanza menoleh, dunia yang dipijaknya dengan warna yang terang dan jelas seratus sembilan persen itu diramaikan dengan komentar dokter serta suster yang memberitakan kematian Alfian beberapa menit lalu. Alanza merasa dadanya sesak, berlari keluar dan berharap kakinya tak menapaki lantai rumah sakit lagi.

Para padestrian yang melewati Alanza hanya melihat tanpa ada niatan bertanya mengapa gadis secantik Alanza bersandar di dinding bangunan tepi jalan dan meremas pakaiannya menangis tanpa suara. Rambut panjang yang lega itu menjuntai di sisi, tak membantu menutupi tangis Alanza yang seolah mengadu pada Tuhan.

Sebuah lipatan tisu terulur dari tangan seorang gadis, gadis berambut hitam yang cukup kurus dan berpakaian kebesaran tersenyum begitu samar pada Alanza. Alanza mendongak, menerima uluran tisu itu dari wanita di depannya.

"Terima kasih," kata Alanza.

"Sama-sama," kata wanita itu pergi begitu saja. "Pergilah sejauh mungkin, jika perlu. Jangan biarkan dia menipu dan memperdayamu, Cantik."

Alanza melongo tak mengerti dengan apa yang dikatakan wanita bertubuh kurus itu, meski dadanya cukup besar tapi tubuhnya benar-benar sedikit tak seimbang, cukup kurus. Alanza menyadari satu hal setelah kepergian wanita itu, bahwa saat ini dirinya adalah ruh tanpa raga. Dan wanita itu bisa melihatnya??

Hayolohhh, hayolohhhh, Selasa pagi yang ceraahh!! Tumbenan ya Nyak update pagi, huum sejak pagi matahari telah menyapa, enggak kayak kemarin mendung dan ada drama PLN ngambek. Have a great day!!

Whiffler [END]Where stories live. Discover now