Micha menghitung uang tunai itu, ada banyak uang yang hilang karena yang tersisa hanya beberapa lembar uang kertas merah, dan tak tahu siapa pelaku yang mengambilnya. Chilla mengikuti langkah Simba yang berjalan ke luar ruangan papanya.

"Pa, Chilla main enggak ngumpet pokoknya." Chilla pamit sambil berteriak pada papanya.

"Ingat jangan ngumpet Chilla!" seru Micha.

Micha berkacak pinggang, sekiranya ke mana uangnya di laci menghilang tapi tetap terkunci sementara tidak ada kunci cadangan selain yang Ia pegang. Giza pun sudah berkata jujur dan bukan tipe dia mencuri uang di laci meja bosnya.

"Uangnya tersisa empat ratus ribu," kata Micha menunjukkan lembaran-lembaran uang di atas meja.

"Bapak tahu sendiri, kunci hanya Bapak yang pegang dan laci tidak rusak sama sekali."

"Maka dari itu aku bingung, Giza. Bukan karena uangnya, tapi aku tidak suka ada yang berani panjang tangan di Benecio." Micha mengerutkan kening.

"Ini aneh, Pak." Giza berkata.

Erchilla mengabaikan kehilangan papanya perihal uang karena merasa bukan dirinya yang mengambil. Simba suka berlari, berguling dan melompat apalagi jika bertemu kantung plastik atau kresek. Simba akan mencakar dan kadang masuk ke dalam kantung dan melompat dari dalam ke pangkuan Chilla.

"Simba lucu deh, masa ngumpet di kantung kresek!" tawa Chilla yang mengintip Simba di dalam kresek.

"Chilla," bisik seseorang dari belakang patung-patung. Chilla tersenyum melihat Alanza mengintip dari balik patung.

"Erchilla," panggil seseorang dari luar ruangan yang pintunya terbuka. Wanita yang menjadi pegawai papanya itu masuk. "Chilla di sini? Enggak mau ke ruangan papanya lagi?"

"Chilla di sini aja, Te. Main sama Simba ini loh, nanti papa marah mejanya amburadul." Chilla menolak.

"Ya sudah, janji tetap di sini ya? Atau kalau mau sesuatu panggil mbak OG ya?"

"Oke, sip!" Chilla menunjukkan jempolnya.

Wanita pegawai Benecio itu pun lantas pergi ke luar ruangan, kembali bekerja bersama Giza dan Micha meninggalkan Erchilla di dalam. Simba menaiki pangkuan Chilla, melongok dan menoleh ke arah belakang patung.

"Kamu lihat dia? Dia Tante Cantik, enggak kayak Tante satunya yang sok baik sama papa dan Chilla," kata Chilla bicara dengan Simba.

Simba melompat turun, disusul Chilla ke arah belakang patung. Anak kucing yang imut itu melongok dan melompat begitu saja di pangkuan wanita cantik bergaun merah yang masih sama, hanya saja kakinya dibalut sepatu berbeda. Chilla melupakan sesuatu, berbalik dan berlari menutup pintu ruangan dan kembali lagi dengan senyum merekah.

"Tante udah ketemu papa Chilla, gimana?"

"Apanya?" tanya Alanza yang memangku Simba, anak kucing itu manjadi manja di pangkuan Alanza.

"Ya, papa Chilla ganteng enggak?" tanya Chilla menengok wajah Alanza dari bawah.

"Mmm, ganteng... karena papa Chilla lelaki, beda kalau lelaki cantik... bencong dong!" tawa Alanza pada Chilla sambil menyentil hidungnya.

"Tante suka enggak sama papa Chilla? Chilla suka loh sama Tante Cantik, pengen jadiin Tante mama Chilla," kata Chilla manja.

"E, lihat nanti aja ya, Sayang. Ini kucingnya Chilla?" tanya Alanza yang menggendong Simba.

"Iya, dikasih Paman Baik tadi, ini namanya Simba. Simba suka ya dipeluk Tante Cantik? Chilla juga suka dipeluk." Chilla memeluk Alanza.

"Ouh, kamu mau dipeluk kayak Simba? Boleh," kata Alanza.

"Tante sepatunya kok beda?" tanya Chilla pada Alanza.

"Iya, sepatunya rusak trus beli sepatu," kata Alanza.

Chilla bangkit dan menoleh ke arah Alanza, "Tante bisa idup kayak manusia, tapi lebih cantik dan halus kulitnya. Kok udah bisa bangun?"

"Tante enggak tahu, biasanya enggak bisa bangun. Tapi, hari ini bisa makanya panggil Chilla." Alanza beralasan dan juga heran.

Chilla mengetuk-ketukan jarinya di dagu sambil berpikir, "jadi Tante Cantik enggak bisa bangun lama-lama gitu maksudnya?"

"E, bisa jadi juga," kata Alanza, tiba-tiba wajah Chilla berubah menjadi banyak, pandangannya pun mengabur dan melihat dua tempat berbeda.

Chilla masih saja bicara dengan logat imutnya, tapi Alanza tak begitu mendengar dan menanggapi karena merasa tubuhnya menjadi aneh, ringan dan merasa ditarik. Seluruh indera perasanya sedikit tak berfungsi baik, dan terakhir Alanza terguling dan tersungkur di lantai. Tapi bukan lantai ruangan di mana Chilla, Simba dan patung-patung peraga berada, melainkan lantai rumah sakit di mana raganya berada.

Di sana, di dekat brankar duduk seorang pria yang tak asing di matanya, lelaki yang menjadi belahan hatinya tapi itu dulu, sebelum luka bersarang di hati Alanza sampai saat ini. Alanza bangkit, gaun putihnya hampir terinjak ketika berdiri begitu saja. Ia kaget melihat Alfian ada di sana, duduk menatap sendu pada raga Alanza.

"Kenapa kau ke mari? Memastikanku masih bernapas setelah membuatku setengah mati?"

"Alanza, aku tidak tahu sama sekali jika kamu di sini seperti ini," kata Alfian pada Alanza.

"Enggak perlu kasih tahu kamu soal gimana hidupku, Fian."

"Aku kangen kamu, Al. Maafin aku yang ninggalin kamu begitu aja dan nikah sama Rahma, aku terpaksa."

"Cih! Kamu bilang gitu kayak balikin mertabak manis di atas panci penggorengan, mudah banget."

"Aku enggak bahagia nikah sama Rahma, Al. Aku ingin balikan sama kamu, bangunlah, Al." Alfian mengambil tangan Alanza lembut.

"Bangun pun aku enggak bakal mau balikan sama kamu! Kamu itu suami orang, pergi ke isterimu!"

"Ngomong sendiri, udah sinting?" tanya seseorang pada Alanza.

Alanza menoleh cepat pada seseorang di sisi lain ruangan, pria berjas hitam yang suka sekali mengejeknya duduk manis di atas sofa ruangan. Pria yang kadang mendatanginya itu kini ada di sini, mengejeknya lagi seperti yang sudah-sudah.

"Apa lagi enggak ada jadwal? Malah nongol di mari?"

"Banyak jadwal tapi nanti malam, sekarang lagi suka liatin roh ngomelin manusia."

Alanza melirik ke arah Sarchie, "Seneng banget kayaknya liat aku kayak gini, gara-gara dia tuh."

"Mantan pacar yang merana," komentar Sarchie.

"Enggak peduli, aku sedang bermain dengan Simba dan Chilla malah 'keluar' gini," bingung Alanza.

"Harimau? Mainanmu enggak balon dan uang lagi?" tanya Sarchie sok tahu.

Alanza menoleh cepat, "Terkejut aku, kamu tahu segalanya ya? Kereen."

"Tentu saja aku tahu," kata Sarchie lagi.

"Simba itu anak kucingnya Chilla, gadis cantik yang melamarku untuk jadi mamanya."

Sarchie tertawa, "Dia mau melamarmu jadi mamamya? Matanya perly diperiksa kayaknya. Wanita blangsakan model kamu mana bisa jadi mama dan punya anak sekalian?"

"Dih, meremehkan! Pergi sana!" Alanza meninggalkan Sarchie dengan keluar dari ruangan tanpa membuka pintu.

"Nyuruh aku pergi, tapi dianya yang pergi. Dasar roh aneh." Sarchie bangkit dari sofa dan melihat sekilas pada Alfian. "Nikmatilah waktumu sebelum kujemput nanti malam."

Hayoloh! Hayolohh, Sarchie tumben ya enggak sengak, apa obatnya komplit ya? Mo jemput sapa tuh? Alfian? Hayolohhh hayolohh...

Erchilla lamar Alanza buat jadi mamamya, pinter juga ntar Dean enggak ntar? Atau maunya dilamar Izann?

Whiffler [END]Where stories live. Discover now