21. Bagaimana Jika

541 79 9
                                    

Serial BEST FRIENDS – 21. Bagaimana Jika

Penulis : Uniessy

Dipublikasikan : 2018, 26 Oktober

-::-

Aku mencengkram ponselku kuat-kuat demi apa yang kubaca di layarnya. Berita tentang pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid.

Iya, kalimat tauhid; Laa ilaaha illallaah.

Alasannya adalah untuk memuliakan kalimat tauhid agar tidak diinjak-injak atau apalah.

Mana ada orang memuliakan sesuatu dengan cara dibakar dan kemudian tertawa-tawa gembira selagi melakukannya? Itu sama sekali tidak menampakkan pemuliaan terhadap sesuatu.

Dan oleh sebab video ini, wajah Nora terlihat mendung sejak tadi.

"Crazy! This is totally crazy!" ucapku dengan geram.

Video ini viral sejak beberapa jam yang lalu. Aku baru melihat video jelasnya begitu Nora memberikan link tentang video itu. Kulihat wajah Nora belum juga bersinar seperti biasanya sejak aku menonton video ini.

"Kenapa bisa begini ya, Nora?" tanyaku setelah layar ponsel dalam keadaan mati.

Bahu Nora terangkat dan embusan napas kerasnya terdengar.

"Entahlah, Queen," jawabnya. "Kita mungkin berada di akhir zaman."

"Pelakunya juga muslim kan? Kenapa mereka membenci kalimat ini?"

"Mereka beralasan bahwa bendera ini adalah bendera dari organisasi terlarang. Padahal jelas bukan bendera seperti yang mereka pikirkan. Itu bendera yang di dalamnya terdapat kalimat mulia..."

Ucapan Nora tersendat sebab suaranya mulai terdengar kacau. Aku memeluknya sekilas lalu melepas pelukan kami dan menyalakan ponsel lagi. Beberapa berita tentang pembakaran bendera ini tertera sebagai opsi untuk diklik selanjutnya.

Tapi tanganku berhenti bergerak begitu saja.

Rasanya sungguh tidak sanggup membaca ulasan-ulasan dari portal-portal berita mengenai kejadian ini.

"Kau tahu," kata Nora pelan. Tangannya sibuk menyeka air mata yang diam-diam turun dari sudut matanya, "Aku teringat kisah Mush'ab Bin Umair. Prajurit di Perang Uhud yang kedua tangannya putus demi untuk mempertahankan panji Rasulllaah. Bendera dengan tulisan Laa Ilaaha Illallaah di dalamnya."

Aku mengangguk sebab aku juga mengingat betul kisah itu.

"Aku juga ingat," kataku, "beliau itu pemuda tampan, mapan, dan wangi sekali ya, dear Nora..." Ingatanku terbuka, ketika Nora membahas betapa gagahnya Mush'ab Bin Umair ketika belum mengenal Islam.

Setelah mengenal Islam, beliau meninggalkan itu semua dan menghabiskan sisa hidupnya untuk membela Islam. Berjuang keras mempertahankan bendera ketika pasukan diserang kembali oleh musuh di Gunung Uhud.

"Itu beliau yang hebat ya, mempertahankan bendera," ucapku lagi, "ini... orang-orang ini tidak jelas tampan dan gagahnya, apalagi surga, tidak jelas punya kavling di sana atau tidak, tapi berani-beraninya membakar bendera dengan kalimat tauhid dengan penuh kepongahan."

Aku menoleh, mendapati Nora menarik napas dengan susah payah akibat tangisannya. Kamarku jadi hening sesaat karena Nora menangis tanpa suara.

"Jangan menangis, Nora..." kataku lagi. "Kuharap ada protes besar-besaran terkait hal ini," tambahku. "Heran, sebenci-bencinya dengan bendera-bendera negara asing yang beredar di negeri ini, tidak ada satu kasus pun yang memperlihatkan bahwa kita membakar bendera asing tersebut. Lantas, kenapa ada kejadian seperti ini? Di negara yang mayoritas muslim? Di bawah kepemimpinan muslim? Dan pelakunya juga muslim? Astaghfirullaah..."

Nora tidak menyahut. Hanya menekuk kakinya dan kembali menangis pelan di sana.

Aku memutuskan untuk merangkulnya. Mengusap-usap pundaknya agar ia lebih mudah menguasai diri dari tangisannya sendiri.

"Jangan menangis, dear Nora..."

Nora mengangkat kepalanya, menoleh ke arahku dengan pipi kanannya menempel di kedua lututnya yang menekuk.

"Queen," katanya dengan isak tangis yang kentara, "kali ini aku benar-benar merasa bodoh. Merasa tidak berguna. Amat sangat tidak berdaya."

Aku diam. Karena aku paham ke mana arah pembicaraannya.

"Tidak ada yang bisa kulakukan dalam kejadian memilukan ini. Setelah berkali-kali agama kita dinistakan di tanah yang kita pijak setiap hari, Queen," kata Nora. "Tidak ada yang bisa kulakukan selain berdoa semoga Allah tidak murka kepada negeri ini akibat dari ulah-ulah manusia tidak bertanggung jawab seperti mereka."

Aku mengangguk setuju. Kuusap perlahan rambut panjang Nora yang hitam legam.

"I know," kataku. "Rasanya kerdil sekali ya, Nora. Di luar sana penista agama Allah bebas melakukan apa yang mereka suka, dan menyakiti hati kita. Lantas kita di sini tidak bisa berbuat apa-apa selain mengutuk apa yang mereka lakukan."

Hening melanda lagi ketika kedua pasang mata kami bertemu.

Mata Nora yang basahmengerjap, menatapku dalam diam. Tarikan napasnya terdengar lagi.

"Bagaimana jika..." kata Nora pelan. "Bagaimana jika RasulAllah bertanya pada kita tentang apa yang terjadi setelah sepeninggal beliau? Apa yang harus kujawab, Queen? Tentang banyaknya kejadian di seantero negeri, bahkan di belahan dunia lainnya..."

Ah, Nora...

Jangan bicara seperti itu...

"Penistaan terhadap agama Islam," kata Nora lagi. "Apa harus kujawab bahwa aku hanya berdiam diri, tidak punya kuasa sama sekali untuk membela beliau?"

Aku mengalihkan pandanganku dari sepasang mata Nora. Dan tanpa bisa kukendalikan, air mataku meluncur jatuh.

Perih.

Perihnya amat terasa di dalam hati.

Aku termangu demi membayangkan sosok RasulAllah Muhammad Shallallaahu 'Alayhi Wasallam, yang di pintu-pintu surga tertera nama beliau berdampingan dengan lafaz Allah Azza wa Jalla, datang menemuiku dan bertanya perihal apa saja yang sudah terjadi di sekitarku selama ini.

Kelu...

Tentu lidahku kelu menanggapinya.

Dan malu...

Tentu saja aku malu. Tidak ada pembelaan yang dapat kubuat selain mengecam perbuatan pelaku dan berharap pihak berwajib mengambil tindakan atas itu.

Ah, benar sekali rupanya...

Kita banyak tapi serupa buih di lautan.

Bahkan pihak-pihak yang berseberangan dengan Islam pasti akan senang atas kejadian ini. Atau pelaku-pelaku pembakaran itu mungkin mendapat provokasi mendalam hingga mereka membakar bendera bertuliskan kalimat mulia itu dengan penuh kebanggaan.

Hanya Allah yang Tahu.

Dan diri yang kerdil ini, hanya bisa menangis melihat kenyataan, Islam diserang bertubi-tubi dari segala sisi.

Allaahu Rabbi, mohon beri hidayah untuk kami.

[]


[✓] Best FriendsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang