2. Memilih Pemimpin

2.2K 167 8
                                    

Serial QUEENNORA – 2. Memilih Pemimpin

Penulis : Uniessy

Dipublikasikan : 2016, 30 September

-::-

"Nora, aku pusiiiing!"

Nora baru datang dan aku sudah heboh.

Ya heboh dong, di rumah ribut sekali perihal ini. Dia duduk di seberang meja tepat di hadapanku, setumpukan buku keluar dari tasnya ketika dia sibuk mencari dompet.

"Kenapa, Queen? Kau sakit ya? Istirahat saja di rumah. Nanti aku sampaikan pada dosen bahwa—"

"Bukan itu! Di rumah heboh tentang pemilihan Gubernur. Kau pilih siapa? Aaarg, di rumah memperdebatkan gubernur yang bukan muslim tapi kinerjanya bagus. Yah, meski kerjaannya marah-marah sih..."

Nora melihatku dengan tatapan tenang. Seulas senyum terukir di wajahnya.

"Padahal Nabi mengajarkan kita kesabaran ya, Queen," Nora memesan satu gelas jus stroberi ketika penjaga kantin menyapa kami. Aku ikutan memesan pesanan yang sama. "Ingat hadits laa taghdhab wa lakal jannah?"

Aku mengangguk. "Nah, kalau pemimpin saja meledak-ledak seperti itu, apa kabar dengan rakyat yang dipimpinnya?"

"Itulah," kata Nora. "Betapa kita merindukan kehadiran sistem pemerintahan Islam," tambahnya. "Merindukan sosok Sayyidina Umar yang dengan bijak menunjuk Said bin Amir sebagai Gubernur. Simpel. Tidak dikelabui oleh demokrasi..."

Aku manyun.

"Yah," komentarku dengan bahu terangkat, "kita hidup di zaman sekarang, omong-omong."

"Tapi bukan berarti harapan itu tidak ada, Queen. Harapan akan selalu ada jika kita bersandar pada Allah 'Azza wa Jalla."

"Jadi intinya?" tanyaku dengan wajah masam.

Masalahnya adalah, di rumah, pembahasan tentang pilgub ini adalah pembahasan yang menegangkan. Belum lagi ketika ada yang datang berkunjung ke rumah, maka perbincangan hangat ini, mau tak mau jadi topik utama.

"Intinya ada dalam Quran," sahut Nora.

Aku melongo.

Kok ada di Quran sih?!

"Oh! Aku tahu. Ayat yang menyatakan bahwa dilarang memilih pemimpin yang non muslim, benar? Aku sudah baca di internet tentang itu. Dan tidak bisa tidak setuju. Tapi teman-teman ibuku selalu berkata bahwa pemerintahan yang ini sungguh apik dan banyak pembangunan. Kota jadi lebih baik dalam kekuasaannya."

"Meski demikian, kita tetap berpegang pada apa yang ada di Quran, bukan?"

Jus pesanan kami tiba, dan Nora menjeda kalimatnya. Aku sendiri cukup sabar untuk mendengarkan penjelasan lanjutan dari Nora.

"Kita hidup berpegang pada Al Quran dan As Sunnah. Apa yang dikatakan boleh, dikerjakan. Yang tidak, maka ditinggalkan. Perihal memilih pemimpin juga sudah diatur benar. Sebagai negara yang mayoritas diisi oleh umat muslim, selayaknya kita dipimpin oleh muslim juga. Tujuannya agar kita lebih leluasa dalam mengerjakan apa-apa yang menjadi kewajiban kita," jelas Nora.

Aku mengangguk setuju. Sebab kenyataannya tinggal di sini memang terhitung mudah dalam mengerjakan apa-apa yang diperintah agama. Yeah, meski tidak bisa dipungkiri, ada banyak nyinyirers bersuara sumbang.

"Di negeri minoritas muslim sana, seperti yang kau sering dengar, ada banyak perlakuan anarkis pada muslimah yang menutup auratnya. Karena memang tidak adanya pemimpin yang dengan tegas melindungi mereka. Kita beruntung tinggal di sini dengan kebebasan berpakaian seperti yang kita kenakan sekarang. Tapi kita tidak pernah tahu, akan seperti apa kondisinya jika kita membiarkan tampuk kekusasaan jatuh pada mereka yang menyembah Allah saja tidak."

"Tapi, bukankah kita tidak tahu masa depan seseorang?" selaku, penasaran. "Seperti Sayyidina Umar? Beliau juga dulu yang paling keras menentang Nabi, tapi kemudian menjadi yang paling depan dalam melindungi Nabi," aku menyesap jus sebentar, lalu mengangkat bahu, "yeah, maksudku, siapa tahu yang non muslim ini nantinya dapat hidayah?"

Nora tertawa, "Sayyidina Umar diberikan tampuk kekuasaan setelah beliau dengan gigihnya memperjuangkan agama ini, Queen. Beliau memang tegas, tapi tidak seperti pemimpin yang kerjaannya marah-marah. Beliau tegas terhadap kesalahan, namun tidak pernah menghinakan orang-orang yang melakukan kesalahan tersebut. Tidak memaki mereka, atau mencontohkan yang tidak-tidak. Sayyidina Umar adalah sosok yang setan saja terbirit-birit jika bertemu dengan beliau, namun juga menjadi orang yang disayangi banyak orang dikarenakan akhlak beliau yang mulia. Tidakkah kita merindukan kehadiran sosok-sosok serupa beliau?"

Aku terdiam. Tidak tahu mau balas apa.

"Lalu aku harus bilang apa ke rumah? Atau ke orang-orang yang mencekoki rumahku dengan profil si ini dan si itu? Jujur saja, Nora. Aku jengah mendengar perdebatan yang tiada henti. Kenapa mereka tidak patuh pada perintah Allah seperti yang selalu kausampaikan bahwa sami'na wa atho'na. Kami Dengar, Kami Taat?"

Aku menopang dagu dengan tangan kiri, mengedarkan pandangan ke bagian depan kantin, memerhatikan ada beberapa orang bergerombol dan sepertinya terlibat percakapan seru sekali.

"Kauberi tahu saja mereka apa yang termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 221," ucap Nora.

Punggungku menegak, dan rasanya ada telusupan semangat menjalar di pembuluh darahku. "Surat apa tadi?" Aku bergegas mencari surat Al Baqarah di ponsel begitu Nora menyebutkannya. "Ayat 221 ya..."

Ketemu!

Dengan sigap, aku membaca terjemahannya, dan bibirku melengkung ke bawah begitu usai membaca. "Apa hubungannya?" tanyaku, tak mengerti.

"Read it, please, Queen?" pinta Nora. Jadi aku membuka suara.

"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya dan atau perintah-perintahNya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran."

Nora menggerakkan telunjuknya ke arahku, dan aku hanya mampu mengangakan kedua bibir. Bingung apa maksudnya.

"Apa hubungannya?" tanyaku. Sebab jelas, di sini tidak ada keterangan tentang memilih pemimpin muslim atau tidak. Ini ayat tentang menikah.

"Di sana di jelaskan, bahkan seorang pria musyrik atau katakanlah non muslim... dilarang untuk menikahi perempuan muslim," ucap Nora. Alisku masih mengernyit.

"Uh-huh?" Aku menunggu lanjutannya. "So?"

Nora melebarkan senyum, "Memimpin satu perempuan muslim saja mereka dilarang, Queen, apalagi satu kota. Kau bisa sampaikan ayat ini pada orang-orang yang bersikukuh memilih yang jelas terlarang. Siapa tahu lebih mudah dipahami. Biidznillaah."

Bibirku membentuk huruf O, lalu terkekeh pelan.

Ah! Iya juga!

Aku bertepuk senang. Ya, selalu senang berbincang dengan Nora. Sudut pandangnya selalu berhasil membuatku takjub.

"Kurasa aku bisa mencobanya," kataku dengan alis naik turun.

Beberapa orang berpikir bahwa tidak menikah dengan non muslim adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Jika dipimpin dalam rumah tangga oleh seorang yang musyrik saja mereka tidak mau, mengapa merelakan diri dipimpin satu kota oleh yang mengingkari Allah sebagai satu-satunya yang berhak dijadikan sesembahan?

[ ]

[✓] Best FriendsΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα