12. Tahan Lisan

1K 119 18
                                    


Serial BEST FRIENDS – 12. Tahan Lisan

Penulis : Uniessy

Dipublikasikan : 2018, 30 Januari

-::-

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ketika berbicara dengan Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu,

"Maukah kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?" Jawabku: "Iya, wahai Rasulullah." Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda, "Jagalah ini". Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?" Maka beliau bersabda, "Celaka engkau. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka selain ucapan lisan mereka?"

[HR. Tirmidzi no. 2616. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih ]



Kami menggegas langkah menuju pintu utama rumah sakit elite yang hari ini kami datangi. Aku dan Nora, tentu saja. Tujuan kami datang ke rumah sakit ini adalah untuk mengunjungi kakak dari teman kampus kami yang dirawat. Kudengar kalau tidak salah, dia sakit kanker usus.

Innalillaahi wa innailayhi rooji'uun...

Jujur saja, perutku langsung melilit begitu mendengarnya.

Teman kami namanya Diva, dan kakaknya bernama Debi. Yeah, kalau aku tidak salah dengar sih.

Diva tidak masuk kampus kemarin dan hari ini. Usut punya usut ternyata menemani ibunya menunggui kakaknya yang akan dioperasi kemarin sore. Nah, sekarang Nora mengajakku untuk menjenguknya.

"Hak sesama muslim, Queen. Jika ia sakit, kita harus menjenguknya. Allah suka itu," kata Nora ketika aku tanya kenapa kita harus menjenguknya. Maksudku, yang sakit kan kakaknya, bukan Diva-nya.

Tapi baiklah, lagipula aku tidak ada kesibukan lain lepas jam kampus siang ini. Kami bertolak ke rumah sakit menggunakan taksi dan tiba di rumah sakit sekitar jam sebelas. Setelah bertanya pada sekuriti ke mana kami harus pergi untuk mencapai ruang ICU, akhirnya di sini kami sekarang. Di depan lift yang akan mengantar kami ke lantai 33.

Nora memeluk beberapa penganan yang dia beli untuk diberikan kepada keluarga yang menunggu di sana. Dia tidak membeli buah-buahan untuk pasien. Tidak, dia membeli roti dan susu untuk asupan bergizi keluarga pasien yang menunggui pasien dengan setia. Mereka pasti kebanyakan makan makanan instan atau siap saji, bukan?

Di lantai 33, Diva menerima kami dengan senyuman. Kendati matanya bengkak bukan main. Dia pasti tidak tidur senyenyak kami malam tadi.

"Wa'alaykumussalaam," kata Diva dengan semringah yang dia upayakan. "Terima kasih banyak kalian sudah datang."

"Ah, bukan apa-apa," kata Nora, memeluk Diva dan ibunya, bergantian denganku.

"Bagaimana keadaan kakakmu? Keadaanmu juga, dan ibumu?" Nora bertanya sembari menoleh pada ibunya Diva yang terlihat sudah mulai renta. Setahuku Diva punya kakak-kakak lain yang lebih besar dan sudah menikah.

"Alhamdulillaah, operasinya berjalan lancar. Hanya saja dia belum sadar," jawab Diva. "Kalian ingin bertemu dengannya? Dia bisa diajak bicara meski mungkin tidak ada respons berarti."

"Ya, Ibu sering bicara padanya selepas dia operasi. Hanya memastikan bahwa dia tidak merasa sendirian..." kata Ibunya Diva.

Kami berdua mengangguk. Senang mendengar bahwa operasi berjalan lancar.

Setelah mendapat izin untuk menjenguk Debi, kakaknya Diva, aku dan Nora memasuki ruang perawatan. Ada beberapa pasien di sana. Diva mengantar kami dan sedikit menceritakan perihal kakaknya.

[✓] Best FriendsWhere stories live. Discover now