Part 1

4.3K 510 16
                                    

Zhavira menunggu jam 11 tiba karena harus menjemput Jihan dari sekolah. Duduk di ruang tv menekan remote berulang kali mengganti channel tv karena bosan tidak ada acara seru. Akhirnya Zhavira beranjak ke luar rumah. Ibunya sedang duduk di teras sambil membersihkan beras dari batu dan juga gabah. Ia berdiri di ambang pintu dengan menatap jalanan.

"Vira! Nggak boleh berdiri di pintu. Pamali itu, entar jauh jodoh!" seru ibunya sambil melotot.

"Bu Malinya kemana, Ma?" kelakar Zhavira seraya menghampiri sang ibu. Ikut duduk di kursi panjang yang terbuat dari bambu.

"Kamu ini ya kalau dikasih tau! Ngeyel banget!" Ibunya berdecak kesal.

"Iya, Mama sayang," Zhavira memeluknya dari samping.

"Udah sana jemput Jihan kasihan dia kalau nunggu lama."

Ia berdiri lalu memberi hormat, "siap boss!!" ucapnya sebelum pergi. Bergegas mengambil kunci motor di saku celana. Dan menstarter motor lalu pergi. Sang ibu memandangi punggungnya dengan sulit di artikan.

Motornya melewati persawahan sepanjang jalan menuju ke sekolah. Padi yang masih hijau berbaris rapih. Pemandangan yang sangat menyegarkan mata. Angin yang begitu kencang menerpa tubuhnya karena sedang mengendarai motor. Dari kejauhan ia melihat Jihan sedang bicara dengan seseorang di depan sebuah mobil. Sontak Zhavira menaikan kecepatan motornya. Teringat banyak penculikan anak dengan mengambil organ tubuhnya.

"JIHAN!!" teriaknya kelabakan. Dan berhenti tepat di depan Jihan. "Ayok, pulang!"

"Maaf, Mbak.. Apa Mbak tau rumah Pak Lurah."

Zhavira menatap tajam pria paruh baya itu, "apa urusan anda menanyakan itu pada saya?!"

"Ya?" wajah pria paruh baya itu tercengang.

"Ayok Jihan naik," ia menunggu Jihan naik ke motor tapi tidak naik-naik.

"Om, jalan aja lurus dari sini." Jihan menunjukkan arah jalannya. "Terus di sana ada kantor kelurahan. Om bisa tanya disana ada Pak Lurah atau nggak."

"Ya ampun, Jihan! Cepet naik!" Omel Zhavira tidak sabaran. Putrinya segera naik, tahu gawat jika Mamanya marah. Ia segera menyalakan motor meninggalkan pria paruh baya itu dan seseorang yang sedang menyenderkan tubuhnya ke mobil. Pria itu memakai kacamata hitam. Jihan memeluk erat perutnya dari belakang. "Jihan, apa kamu lupa apa yang Mama bilang!"

"Mama bilang kan harus hati-hati kalau ada orang gila. Katanya orang gila itu cuma pura-pura gila buat nyulik anak-anak. Kalau yang tadi kan pakaiannya rapih," jawab Jihan dengan polosnya.

"Kamu lupa ya, jangan bicara sama orang asing juga!" cerocosnya. Jihan mengerucutkan bibirnya lupa mengenai pesan yang itu. Kedua orang tadi tidak terlihat seperti orang jahat, pikirnya.

Zhavira mengomel di sepanjang jalan pulang. Bagaimanapun Jihan putrinya meskipun bukan darah dagingnya. Zhavira menyayanginya melebihi dirinya sendiri. Ia mengenalnya sejak Jihan berusia 4 tahun. Ketika bertemu Rendi untuk pertama kalinya. Zhavira mengusir pikiran tentang Almarhum suaminya. Bisa-bisa air matanya merembes keluar. Sampai di rumah ia menyuruh Jihan untuk ganti pakaian dan makan.

Helaan napasnya terdengar keras. Tiba-tiba rasa lelah menyerang terlebih hatinya. Sudah 5 bulan Zhavira menjanda. Tidak pernah terlintas untuk menikah kembali. Rasa kehilangan untuk selama-lamanya membuat jiwa Zhavira hancur berkeping-keping. Menyisakan serpihan-serpihan luka yang bertebaran dihatinya. Ia terperosok terlalu jauh untuk kembali rasanya tidak mungkin. Meskipun ingin mencobanya sekali lagi. Tidak dalam waktu dekat, mungkin 2 atau 3 tahun lagi.

"Mama, dipanggil Abah." Terdengar suara Jihan dari dapur. Zhavira masih duduk di ruang tv sedang beristirahat.

"Mau apa?" sahutnya kencang.

One More Time  (GOOGLE PLAY BOOK & KBM APP)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu