The Dark Side

1.2K 134 1
                                    

Pernah mendengar kisah dongeng tentang Negeri di Atas Awan? Negeri yang menjadi asal muasal jatuhnya air ke bumi, sebuah fenomena yang sering disebut sebagai hujan, negeri di mana setiap langkah kaki dan aktivitas penduduknya adalah sumber dari kehidupan manusia.

Ya, itulah negeri yang tidak pernah kau bayangkan akan ada di balik putihnya gumpalan kapas yang berarak-arakan di antara bentangan langit.

Perlukah kuberitahu? Bahwa di atas awan putih raksasa, yang tepat berada di atas kepalamu saat pergi ke sekolah terdapat sebuat kerajaan besar. Kerajaan dengan penduduk setinggi lutut manusia, dengan canda tawa anak-anaknya yang selalu memenuhi gendang telinga.

Namun, ada suatu masa di mana semua kebahagian itu menghilang, tergantikan oleh ketakutan akan suatu hal. Segala yang membuat bumi juga mengalami kekeringan. Tak ada canda tawa, tak ada kebahagiaan, tak ada langkah kaki, dan juga ... tak ada hujan.

Bukankah, di setiap kisah selalu ada si baik dan si jahat, atau protagonis dan antagonis?

Tapi sebelumnya, tidakkah kalian penasaran dengan awan-awan kecil tak berpenghuni yang artinya tak dapat membuat air turun?

Tak semua awan memiliki kerajaan di atasnya, juga ada pula beberapa yang bahkan tak berpenghuni, mereka hidup tanpa arah dan tujuan yang jelas, hanya pasrah mengikuti ke mana angin membawa.

Inilah yang sebenarnya ingin kuceritakan. Tentang seorang pemuda yang menatap iri pada kerajaan awan putih. Ia tinggal di sebuah awan berukuran kecil dengan beberapa penduduk lainnya. Selalu saja ia bertanya pada takdir, mengapa ia di tempatkan di sini, memutar otak tentang bagaimana caranya dapat menjadi seperti Negeri Awan Putih yang selalu menjadi sorotan.

Sebenarnya ia adalah pemuda jenius, tapi rasa iri, dengki, juga ambisi selalu bisa membutakan hati.

Di sinilah ia, tempat yang setiap hari selalu digunakan untuk menghabiskan waktu bersama buku-buku tebal yang telah menjadi makanan sehari-harinya.

Antonio Revardo, ukiran namanya berada di pojok kanan atas meja kayu antik yang selalu menemaninya mengobrol bersama lembaran kertas dan tinta, juga sebatang bulu yang kini tergenggam di telapak tangan.

Buku setebal kurang lebih dua ribu halaman dengan sampul kulit coklat tua tampak mencolok di antara kertas-kertas yang berserakan di sekitarnya.

Tulisan "Energi Alam" ditulis menggunakan tinta yang lebih tebal terletak di bagian atas sebagai subjudul barisan kalimat yang kini telah dipelajarinya. Sesekali kepalanya tertoleh ke arah kertas semakin lama semakin penuh dengan coretan tangannya sendiri. Dahinya berkerut dengan alis yang menekuk tajam, bibirnya sekali-kali berkomat-kamit membaca dan berpikir dalam satu waktu.

Pintu yang terbuka dan sedikit cahaya masuk menghancurkan fokusnya seketika. Mata dengan bingkai persegi kacamata mempertegas tatapan membunuh kepada siapapun yang telah berani mengganggunya.

Hembusan napas jengkel seketika keluar dari hidung mancungnya saat mengetahui Annelise, adik perempunya berdiri di depan pintu dengan salah satu alis terangkat.

Antoni kembali berkutat pada pekerjaannya, tak menghiraukan Annelise yang berjalan mendekat dengan pandangan menusuk punggung.

"Sudah berapa kali kubilang, hentikan saja semua ambisimu dan lakukan hal yang sedikit berguna." Annelise berdiri di samping kakaknya dengan tangan bersedekap dan netra hitam seolah merendahkan kertas-kertas di meja.

Antoni hanya melirik sekilas dan kembali pada pekerjaannya.

"Cerewet," gumamnya hampir tak terdengar.

tetapi Annelise yang berdiri sangat dekat ditambah ruangan yang sunyi dapat mendengar dengan jelas.

Kini ganti Annelise yang mendengus. "Rev, kapan terakhir kali kau menatap kaca? Kau terlihat seperti orang gila, kau tahu?"

Antoni sama sekali tak mengalihkan pandangannya. Tapi memang benar apa yang dikatakan Annelise, rambut hitamnya mencuat ke mana-mana, kantong hitam tebal di bawah mata, dan bibir pucat yang benar-benar membuatnya terlihat seperti orang tak waras.

"Diamlah, Ann. Dan berhenti memanggilku Reva, namaku Antoni!"

Annelise yang tahu usahanya kali ini akan sia-sia lagi melengos pergi dari sana. Rambut hitam bergelombang dan suara dinginnya merupakan hal terakhir yang tersisa sebelum pintu tertutup.

"Terserah kau saja. Yang jelas aku sudah mengingatkanmu. Dan ya, aku tau namamu Antoni, Antonio Reva."

Antoni menggumam, senyum sinis tersungging di bibirnya, tak berniat menghiraukan satu-satunya keluarga yang ia miliki. Kelamnya ambsi membuat dirinya telah lama mati.

"Ya, Reva, Revardo.

***

"Aarrgh!"

Meja kayu di tengah ruangan besar terbelah menjadi dua. Kepalan tangan yang memerah seorang lelaki berjubah dan bermahkota menjadi alasan beberapa pria di sekitarnya menundukkan kepala dengan gemetar.

Pintu besar ruangan itu terbuka, seorang gadis bertiara masuk dengan anggun. Ia mengangguk takzim pada beberapa pria yang menyapanya dengan gemetar ketakutan yang belum hilang. Mata gadis itu melirik ke arah meja sebelum menatap pria yang menjadi sumber kekacauan di ruang tersebut tanpa satupun keraguan dan rasa takut. Raut datar dan hembusan napas keras menunjukkan betapa ia lelah dengan kondisi ini.

"Aku sudah berkali-kali mengingatkanmu 'kan? Menjadi sorotan? Yang benar saja," Annelise mendengus.

"Benar ini yang kau inginkan? Menebar teror dan ketakutan?"

Mata Antoni bergerak-gerak gusar sementara Annelise, dengan isyarat menyuruh petinggi kerajaan yang hadir untuk keluar meninggalkan ia berdua dengan kakaknya yang kini menyandang gelar Raja.

Setelah bertahun-tahun berkutat dengan ratusan buku tebal dan membuat berbagai teori, Antoni akhirnya berhasil mencapai apa yang diinginkannya, dilihat oleh orang-orang dan tak terabaikan.

Entah apa yang ia lakukan sebenarnya, Annelise dan rakyatnya tahu sang Raja berhasil menyatukan awan-awan kecil yang sebelumnya tercecer dan menjadi figuran semata. Antoni berhasil membuat awan-awan itu menjadi satu kesatuan sebagai negara baru yang sama besarnya dengan Negeri Awan Putih.

Namun, keinginan sederhana telah berubah menjadi ambisi mematikan. Kebaikan yang menjadi tujuan telah lama tertutup kabut kelam. Antoni tak pernah merasa puas dengan negara yang ia buat. Segala cara ia lakukan untuk membuat negerinya semakin besar dan menjadi nomor satu. Ia ingin manusia di bawah sana mengabaikan awan putih dan berfokus pada awan hitam yang dapat menurunkan hujan lebih dari sebelumnya.

Pepatah tak pernah salah, segala sesuatu yang berlebihan memang tak pernah berakhir baik. Negerinya memang dapat menurunkan hujan lebih dari Negeri awan putih, walau tanpa canda tawa penduduk yang memang tak seberapa jumlahnya.

Hujan disertai angin dan petir yang menggelegar selalu tertumpah dari negerinya, membuat manusia tak berani memandangnya, selalu bersembunyi ke dalam rumah atau tempat teduh ketika awan hitam melintas di atas kepala. Hal ini membuat Antoni geram karena merasa para manusia tetap mengabaikannya dan berarti segala usaha yang selama ini telah ia lakukan berakhir sia-sia.

Antoni mengambil sebuah botol dari lemari di dekat tempatnya berdiri, meneguk isinya hingga kandas tanpa memedulikan Annelise yang masih memperhatikan setiap langkahnya.

Dengan mata melotot marah, ia berteriak menggelegar sebelum tertawa layaknya orang gila.

"YA. INI PASTI KARENA AWAN PUTIH SIALAN ITU! AKAN KUHANCURKAN MEREKA AGAR MANUSIA TERPUSAT KEPADAKU!"

Annelise menghembuskan napasnya penuh kefrustrasian. Berjalan keluar meninggalkan kakaknya yang tak pernah dapat ia sentuh semenjak beberapa tahun lalu.

GenreFest 2018: Dark FantasyWhere stories live. Discover now