Ritual

2K 226 7
                                    

Seluruh masyarakat di kota Wiletown akan melupakan defenisi bersabar setiap Ritual "Penambahan Umur" berlangsung. Ritual ini jatuh bertepatan dengan penanggalan bulan purnama ke-empat setiap tahunnya.

Menurut kabarnya, ritual ini sudah menjadi kebudayaan di kota kami, sejak adanya satu manusia yang melanggar pantangan berat. Karena satu orang, seisi kota harus terkena dampaknya.

Nama yang tercantum di ritual ini bukanlah sekedar nama belaka, tetapi memang benar adanya. Hari ini benar-benar adalah kesempatan untuk menambah usia. Hanya pada hari inilah, segala hal yang hidup dapat diambil nilai kehidupannya. Aku lebih suka menyebutnya pengalihan kehidupan, dan kupikir kebanyakan orang juga suka menyebutnya demikian.

Untuk bertahan selama setahun, kami harus memastikan bahwa tatto angka pada pegelangan tangan kami paling sedikit adalah angka 365 hari, atau setidaknya cukup untuk bertahan hingga Ritual Penambahan Umur tahun depan.

Semua orang yang ingin hidup, pasti setuju dengan pernyataan bahwa hari ini adalah hari yang penting, tidak ada yang boleh melewatkan hari ini.

Hari ini, aku tidak berpikir begitu. Yang kupikirkan hanya ...

Hidupku sudah tidak lagi berguna.

"Saya tidak mengerti mengapa dia tega melakukan hal itu," lirihku pada para polisi yang kini tengah membawaku untuk mencari keterangan.

Para polisi yang umurnya lebih muda dariku itu saling menatap bingung. Aku tahu bahwa kedatanganku hari ini di pos hanyalah beban terberat untuk mereka, karena mereka pastilah telah menunggu waktunya dipanggil agar dapat melakukan pengalihan kehidupan di alun-alun kota. Jika kasus ini tidak bisa dipecahkan hari ini, mereka akan kesulitan karena aku pasti tidak akan melepaskannya semudah itu.

"Biar saya ulangi, koreksi saya jika salah." Seorang pria berseragam coklat dengan emblem emas mengkilap dan kumis tebal itu berdeham sebelum melanjutkan. "Jadi Istri Bapak dibunuh oleh seorang pria asing yang tidak dikenal pagi buta tadi?"

"Mr.Alison bukan orang asing, Pak," koreksiku sambil mengatur napas, mencoba untuk menahan diri agar tak mengumpat, "dia tetangga saya, dan dia membenci saya. Mungkin sejak perusahaannya gulung tikar beberapa bulan silam."

"Bapak yakin bahwa itu adalah tetangga Bapak?" tanyanya, memastikan.

"Saya yakin tidak salah melihat! Dia mencekik Istri saya!"

Pria itu mencatat pengakuanku dalam catatan kecil, lalu bangkit dari duduknya.

"Kami akan ke rumah Mr.Alison, Bapak harap menunggu dulu di sini. Kami akan membawa Mr.Alison di sini. Bukti CCTV yang Bapak berikan akan kami pelajari...."

Aku memejamkan mata, membayangkan esok hari tanpa istriku yang membangunkan. Ini terlalu berat, sangat berat. Aku sudah menghabiskan hidupku bersamanya hampir seperempat abad sejak dari masa sekolah kami. Kami selalu mengikuti ritual penambahan umur bersama-sama setiap tahun. Kami selalu bersama.

Dan hari ini, kami tidak bersama.

"Pak?" tegur polisi muda lainnya sambil menahan tanganku, "Bapak mau kemana?"

"Alun-alun kota."

Berpikir bahwa mungkin aku sudah bersemangat karena mereka telah menjanjikan suatu kepastian, mereka membiarkanku pergi ke alun-alun yang sesak, berebut binatang yang dibagikan pemerintah secara cuma-cuma untuk dibunuh agar usia mereka bertambah. Rumah susun yang bersarang di tanah kota ini bukan lagi terlihat sebagai hal yang menakjubkan. Aku juga tidak perlu lagi menunggu pemerintah yang telah memberi janji manis untuk membuat kota bawah tanah untuk mengatasi ledakan penduduk yang terus meledak dan angka kematian yang semakin mustahil. Aku tidak lagi peduli dengan dunia ini. Langit biru yang selalu dikaguminya, biru pucatnya seperti rasanya hari ini. Bulan putih yang masih menggantung menemani matahari.

GenreFest 2018: Dark FantasyWhere stories live. Discover now