The Dark Revenge

1.1K 151 3
                                    

Langit semakin gelap. Cahaya bulan tertutup awan hitam. Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Ternyata berasal dari seorang gadis berambut kecoklatan yang sesekali menghapus peluh di dahinya sambil sebelah tangannya membawa jaring berisi ikan.

Ketika sampai di depan sebuah rumah tua, gadis itu membuka pintu perlahan, menimbulkan bunyi khas yang memecah keheningan malam. Ia mengeluarkan ikan-ikan hasil tangkapannya dan meletakkannya ke dalam sebuah ember. Meski tidak banyak, setidaknya ia bisa menangkap beberapa.

"Hanya ini yang bisa kau dapatkan, Reeya?" tanya seorang wanita tua yang ternyata telah memperhatikan gerak-gerik gadis itu sejak memasuki rumah.

"Dasar anak tak berguna!" Wanita tua itu melayangkan tamparan keras ke pipi kiri Reeya.

"Maaf, Ibu. Tapi hanya ini yang bisa aku dapatkan. Tadi hujan turun, dan hanya sedikit ikan yang muncul ke permukaan air sungai," jawab Reeya pelan, namun malah membuat ibunya semakin murka.

"Jangan panggil aku dengan sebutan 'ibu'! Aku tidak sudi memiliki anak sepertimu! Sudah berapa kali kubilang untuk memanggilku dengan sebutan 'nyonya'? Apa kau masih belum mengerti juga?" Wanita tua itu menarik rambut Reeya dengan kuat hingga Reeya meringis kesakitan.

"Maaf, Nyonya Tiana. Aku sangat menyesal." Reeya mulai meneteskan air mata.

"Jika besok kau tidak mendapatkan banyak ikan, akan kuusir kau dari rumah ini! Mengerti?" bentak Tiana sekali lagi, lalu membenturkan kepala Reeya ke dinding kayu di dekatnya.

Gadis itu terjatuh lemas. Air matanya mengalir dengan deras. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat, merasakan panas yang menjalar dari hatinya. Matanya memerah menyimpan amarah yang dipendam. Rupanya takdir kehidupan selalu menyiksanya.

***

Matahari bersinar cerah. Reeya pun telah siap dengan peralatannya untuk menangkap ikan. Setiap hari ia memang harus menangkap ikan di sungai yang ada di tengah hutan. Untuk sampai ke sungai, ia harus berjalan menyusuri jalan setapak yang ada di desanya.

"Selamat pagi, Reeya! Bajumu kotor sekali! Kau tidak pernah mencucinya, ya?" tanya seorang gadis sambil tertawa.

"Iya, lusuh sekali! Dasar gadis miskin!" ujar gadis yang lainnya.

"Sana! Pergi jauh-jauh! Jangan dekat-dekat dengan kami!"

Reeya menatap tajam ke arah mereka dan mengepalkan tangan kuat-kuat. Amarah menguasai dirinya. Matanya merah menyala. Hingga tiba-tiba batu melayang dari tanah dan menghantam kepala kedua gadis itu. Darah bercucuran dari dahi mereka.

Ketika Reeya memperoleh kembali kesadarannya, ia terdiam kebingungan. Apa yang baru saja terjadi? Reeya tidak melakukan hal apapun.

Gadis itu tersenyum dan melanjutkan perjalanannya menuju hutan. Terlihat sungai yang sangat luas dengan air jernih yang mengalir. Reeya tersenyum pelan menatap seorang pria yang telah menunggunya di pinggir sungai.

"Hai, Edward!" sapa Reeya.

"Akan kubantu kau mengumpulkan ikan hari ini," ujar Edward sambil menepuk puncak kepala Reeya.

***

"Hari ini kau dapat banyak ikan," ujar Tiana.

"Iya, Nyonya," jawab Reeya.

"Pasti Edward membantumu, kan?" tanya Tiana, kedua matanya memandang Reeya lekat-lekat. Reeya mengangguk.

"Apa kau tahu bahwa semua pria adalah penjahat?" Tiana mendekat ke arah Reeya, sedangkan Reeya hanya terdiam.

"Kisah cintamu bersama Edward tidak akan berakhir indah. Apa kau mengerti?" Tiana meninggikan nada suaranya. Reeya mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat.

"Kau pembohong!" teriak Reeya tiba-tiba.

"Kau tak percaya padaku? Semua pria hanya bisa menyakiti wanita! Sama seperti ayahmu yang bodoh itu!" Tiana mendorong Reeya hingga gadis itu tersungkur ke lantai.

Reeya mengangkat kepalanya perlahan, menatap Tiana dengan amarah yang membuncah. Matanya merah menyala. Pisau hitam yang terletak di atas meja makan, melayang menuju Tiana dan menempel di leher wanita itu.

"Aku sudah mengetahui hal ini sejak dulu." Tiana tertawa. Namun Reeya tetap terdiam di posisinya. Pisau hitam itu pun tetap melayang menempel di leher Tiana.

"Akhirnya dugaanku benar. Kau memang seperti ayahmu. Penjahat! Pembunuh!" Tiana tertawa keras.

"Dasar penyihir! Aku harap kau membusuk di neraka! Sama seperti ayahmu itu! Kau..." Belum sempat Tiana melanjutkan kalimatnya, pisau di lehernya telah menembus kulitnya.

Reeya masih terdiam. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Gadis itu tidak melakukan apapun, semua itu terjadi begitu saja. Entah kekuatan apa yang menyelimuti dirinya.

Kedua kakinya berjalan pelan mendekati mayat ibunya yang kini tergeletak di hadapannya. Reeya tersenyum. Tangan kanan Reeya membelai rambut ibunya.

"Selamat tidur, Ibu. Semoga mimpi indah," ujar Reeya pelan, lalu mengecup dahi Tiana.

Udara malam itu terasa sangat dingin, seperti menusuk kulit Reeya. Namun, gadis itu merasa bahagia. Ia segera menguburkan tubuh Tiana di belakang rumah.

Reeya berjalan lagi memasuki rumah dan menuju kamarnya. Setelah berbaring di ranjang, ia memejamkan kedua mata, berusaha untuk tertidur. Namun bayangan-bayangan aneh menghampirinya. Ia melihat sosok ayahnya mengenakan jubah hitam dan membawa sebuah tongkat aneh, seperti tongkat sihir.

Di dalam mimpinya, ayahnya seperti ingin menyampaikan pesan padanya, bahwa mereka memiliki kekuatan unik yang tidak dimiliki oleh orang lain. Mereka adalah makhluk yang istimewa, dan orang-orang harus menderita karena telah menghina mereka.

Setiap hari, kekuatan Reeya semakin bertambah. Mengubah seorang gadis pendiam menjadi gadis yang keji dan kehilangan rasa kasihan.

***

Pagi ini seperti biasa Reeya berjalan menuju sungai di hutan. Gadis itu membunuh siapapun yang menghinanya ketika bertemu di jalan. Reeya merasa senang. Ia dapat menyingkirkan orang-orang jahat itu dengan mudah, tanpa harus melakukan apapun. Kekuatannya membuatnya semakin bahagia.

"Ed," panggil Reeya ketika melihat Edward di pinggir sungai.

"Ada apa, Reeya? Kau terlihat sangat bahagia," tanya Edward sambil tersenyum.

"Boleh aku bertanya?" Reeya balik bertanya.

"Tentu saja." Edward mengangguk.

"Apa kau mencintaiku?"

Edward menautkan alisnya bingung. Gadis di hadapannya ini tidak seperti Reeya yang ia kenal. Ada yang berbeda dari Reeya saat ini.

"Apa maksudmu? Kenapa tiba-tiba kau bertanya seperti itu?" Edward tersenyum bingung.

"Tolong jawab saja pertanyaanku." Reeya tersenyum.

"Kau tahu, kan? Aku menganggapmu sebagai adikku sendiri. Sejak kecil kita selalu bersama. Aku selalu melindungimu, dan kau selalu menghiburku. Aku akan selalu menganggapmu sebagai bagian dari keluargaku." Edward menjelaskan.

"Jadi begitu, ya." Reeya menunduk.

"Kau mencintaiku?" Edward meraih dagu Reeya agar dapat menatap matanya.

"Aku sangat mencintaimu," ujar Reeya pelan. "Tapi sekarang tidak."

Reeya tersenyum. Tubuh Edward melayang sangat tinggi dan terjatuh sangat keras di sungai. Kepala dan tubuhnya terkena batu-batu yang ada di sungai, dan darah mengalir tercampur dengan air sungai. Tubuh Edward pun bergerak terbawa arus aliran sungai.

"Ternyata semua orang memang sama saja." Reeya tertawa pelan.

"Tidak ada orang baik di dunia ini." Reeya menghela napasnya. "Dan aku akan membalaskan dendamku, pada mereka yang kehilangan simpati."

GenreFest 2018: Dark FantasyWhere stories live. Discover now