Mutiara yang Hilang

2.4K 267 4
                                    

Pada suatu ketika, di sebuah kerajaan yang jauh hiduplah seorang Raja yang bijak, bersama ketujuh orang putrinya. Kerajaan mereka tidaklah terlalu megah, tetapi rakyatnya hidup berkecukupan. Sayangnya kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.

Permaisuri baru saja meninggal dunia karena sakit, sehingga Kerajaan mereka sempat cemas karena mereka kehilangan penyihir hebat yang mampu mendirikan tabir pelindung. Di antara ketujuh orang putri mereka, hanya putri pertama yang mewarisi kemampuan ibundanya. Namun karena masih belum berpengalaman, dia masih harus pergi berguru ke tempat Penyihir Sakti di dasar lautan yang paling dalam.

Bukan masalah besar baginya, karena sudah menjadi rahasia umum di Kerajaan itu bahwa keluarga Raja merupakan hasil perpaduan antara penyihir dan merfolk, makhluk penghuni lautan. Selama Mutiara Pusaka yang sudah susah payah diciptakan oleh Permaisuri mereka masih ada, pemilik darah merfolk sekalipun dapat berjalan di daratan tanpa kehilangan suara.

Karena kemampuannya dibutuhkan untuk mendirikan Tabir Pelindung, Putri Pertama hanya pergi berguru setiap beberapa bulan sekali. Yaitu pada saat pelabuhan mereka dibuka untuk perdagangan. Pada saat itu juga Tabir Pelindung Kerajaan mereka diturunkan.

Suatu hari, ketika Putri Pertama pulang dari berguru, dia mendapati Kerajaannya sudah tidak ada lagi. Hanya reruntuhan rumah-rumah kosong tanpa seorang penduduk pun. Dalam kepanikan, dia bergegas menuju bangunan terbesar, tempat keluarganya tinggal. Namun baru beberapa langkah, sepasang kakinya berubah menjadi ekor ikan besar yang menjadi ciri para merfolk.

Mendadak kehilangan tungkai membuatnya terserang kepanikan. Dengan susah-payah hingga terseok-seok dia menyeret ekornya—melupakan segala ilmu sihir yang pernah dia pelajari. Ketika akhirnya tiba di tujuan, yang menunggunya adalah genangan merah gelap, setengah kering di lantai dan percikan kecokelatan di tembok.

Air mata yang sedari tadi menggenang mulai membanjiri pipinya. Bersamaan dengan butir-butir asin yang dipenuhi emosi dan kekuatan sihir itu jatuh ke tanah, langit pun menggelap. Akibat tabrakan hebat hawa panas dan dingin, gulungan mega-mega berkumpul, memanggil angin dan petir. Dari kejauhan jeritan putus-asanya tenggelam ditelan badai.

***

"Kita tidak tahu bagaimana latar belakangnya, tidakkah sebaiknya biarkan dia ikut pengawal untuk diurus di biara kota?"

"Tidak apa, bawa saja perempuan itu ke kastil. Kasihan dia, tak bisa bicara. Bisa apa dia bila sendirian, basah kuyup kedinginan, dengan baju seadanya?"

Yang mengucapkan kalimat itu adalah tunangannya sendiri, dengan senyum anggun yang bisa melelehkan pertahanan ksatria tangguh sekalipun. Lelaki itu tak sanggup menolak. Putri dari kerajaaan tetangga itu bahkan sengaja melepaskan mantel hangat berbordir benang perak untuk menyelimuti tubuh kurus perempuan yang mereka temukan terdampar di pantai tempat keduanya sedang berjalan-jalan sore itu.

Pangeran tidak sampai hati membiarkan mantel indah tunangannya ikut tercuci bersama ratusan jubah biarawati, dengan satu gerakan lengan dia memanggil seorang dayang dan pengawal untuk membawa si perempuan malang ikut bersama-sama pulang. Toh, hanya kastil kecil di perbatasan, tempat para anggota keluarga kerajaan berlibur. Tidak akan terlalu masalah bila ketambahan satu atau dua orang dayang. Malah bagus untuk menunjukkan kemurahan hati keluarga kerajaan.

Tunangannya pun tersenyum puas melihat keinginannya untuk berbuat baik, terpenuhi. Ya, sama sekali tidak ada yang salah dengan keputusannya. Setidaknya begitulah yang terpikir dalam benak sang Pangeran saat itu.

***

Di sebelah mana letak kesalahnya?

Sejak kapan dia mengambil keputusan yang demikian salah hingga segalanya menjadi kacau tak terkendali?

GenreFest 2018: Dark FantasyWhere stories live. Discover now