BAB 11 - Lo masih suka dia?

2.2K 316 8
                                    

"Hari ini seleksi OSIS ya Zi?" tanya Vika saat melihat Zia sibuk membalas chat seseorang yang tak lain adalah Zano.

"Hm, iya nih. Kak Zano marah pula karena gue ikut OSIS." Jawabnya seraya masih tak mengalihkan pandangannya dari handhphonenya.

"Iyalah, dia pasti bakal cemburu. Lo kan suka sama Kak Erkan dari waktu masuk pertama kali."

Zia menoleh cepat ke arah Vika, "Dia nggak tau kok soal itu. Jangan-jangan lo..."

"G-gue duluan ya, kayaknya supir gue udah di depan deh." Vika buru-buru bangkit dari tempat duduknya, tapi dengan sigap Zia menghalanginya.

Zia menatapnya curiga, "Jangan bilang lo ngasih tau Kak Zano soal itu?"

Vika menggigit bibir bawahnya dengan ragu, "S-sebenernya gue pernah ngasih tau kak Dino tanpa sengaja waktu ngobrol di chat beberapa hari yang lalu. Gue nggak sengaja Zi, sorry ya."

"Duh Vika..." keluh Zia gemas dan menjambak rambut Vika sampai gadis itu mengeluh kesakitan.

"Maaf Zi, gue keceplosan."

"Pantes aja Kak Zano ngotot masih nggak ngizinin gue ikut OSIS."

"Maafin gue ya Zi." Vika menatap Zia dengan pandangan memelas agar sahabatnya itu melepaskan dirinya.

"Kali ini gue maafin, awas aja kalo sampe lo ngomong aneh-aneh lagi soal gue." Ancam Zia dengan wajah merengutnya.

"Iya, Zia sayang! Makasih udah maafin. Sekarang gue balik dulu, supir gue dah di depan." Ucapnya buru-buru ketika menyadari seseorang telah menunggu Zia di depan kelas, yang tak lain adalah Zano.

Deg!

Zia juga melihatnya, laki-laki itu telah menunggunya di depan pintu dengan tatapan tajam yang menusuk ke arahnya. "Mampus gue."

Zia sudah tak bisa menghindar lagi dan berjalan keluar kelas dengan pasrah, diiringi tatapan kasihan dari teman-teman sekelasnya.

"Sekali gue bilang nggak boleh, ya nggak boleh." Itulah ucapan yang pertama kali keluar dari mulut Zano. Bahkan bahasa aku-kamu yang mulai dia gunakan kemarin entah hilang ke mana.

"Kenapa nggak boleh sih kak? Aku juga terpaksa karena nggak ada ekskul lain yang bisa aku ikutin." Balas Zia lembut, mencoba untuk membujuk laki-laki keras kepala itu.

"Lo masih nanya? Lo pasti tau alasan gue larang lo, Zia." Nada suara Zano mulai meninggi, membuat mereka mulai menjadi pusat perhatian untuk kesekian kalinya. Dan lagi, teman-teman sekelasnya yang masih berada di dalam kelas kini tak berani untuk keluar dan melewati mereka. Zia tahu akan hal itu dan langsung menarik tangan Zano menjauhi kelas menuju lorong sepi yang tak jauh dari kelasnya untuk berbicara.

"Karena kak Erkan?" tanya Zia pelan seraya menatap kedua manik mata Zano. Awalnya laki-laki itu balas menatap matanya, tapi sesaat kemudian membuang pandangannya ke arah lain dengan raut wajah marah.

"Lo masih suka sama dia?" bukannya menjawab, Zano malah balik bertanya seraya menatap mata Zia lekat-lekat.

Kali ini Zia yang memalingkan wajahnya, tak berani menatap Zano atau pun menjawab. Dia hanya diam, tak tahu harus menjawab apa. Zia juga masih bimbang atas perasaannya saat ini, apakah ia masih menyukai Erkan? Atau dia mulai menaruh hati pada Zano?

"Lo diam, itu artinya 'ya'." Kata Zano menyimpulkan seenaknya seraya menatap Zia dengan wajah dinginnya. "Jadi ini jawaban lo? Gue kira gue masih punya kesempatan, tapi ternyata yang gue lakuin selama ini sia-sia."

Zia panik saat Zano mulai membalikkan badan dan berjalan meninggalkannya. Dia ingin sekali memanggilnya, tapi entah kenapa mulutnya bungkam.

Kalau pun Zia memanggilnya, dia tak tahu harus berkata apa. Dia bahkan tak mengerti perasaan yang kini berkecamuk di dadanya. Bahkan hingga sosok laki-laki itu menghilang di ujung lorong dia masih berdiri mematung di tempat dengan berbagai hal yang dia pikirkan di kepalanya.

***

Zia menjalani seleksi OSIS dengan tak fokus, dia masih belum bisa melupakan apa yang dikatakan Zano sebelumnya. Berkali-kali terlintas di benaknya untuk tak mengikuti seleksi ini, tapi sepertinya dia sudah tak bisa mundur lagi mengingat dia sudah berada di dalam ruangan dan mulai mengerjakan tes tertulis. Jika dia lulus dalam tes tahap satu ini maka dia akan mengikuti tes tahap dua yang berupa interview bersama para anggota OSIS lama yang akan dilakukan beberapa hari ke depan, itu artinya dia masih punya kesempatan jika dia ingin mundur.

Tes tertulis itu hanya membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit, dan hasilnya akan langsung diumumkan oleh ketua OSIS begitu mereka selesai menyeleksinya. Zia juga tak berharap banyak untuk lulus tes ini karena anak baru yang mengikuti tes OSIS sangat banyak dan mencapai lebih dari lima puluh orang, sedangkan mereka hanya akan menerima sekitar dua belas orang.

"Ziana Levira." Jantung Zia berdegub kencang ketika namanya disebut dan masuk ke daftar salah satu siswa yang lulus dalam tes tahap pertama.

"Dua puluh nama yang baru saja saya sebutkan adalah mereka yang lulus dan berhak untuk mengikuti tes tahap ke dua." Kak Erkan menjelaskan dengan suara tegas yang menggema di setiap sudut ruang aula yang dipakai sebagai tempat tes.

Zia masih tak percaya dengan apa yang ia dengar. Dia masih termangu dan belum beranjak dari tempat duduknya bahkan ketika semua orang telah meninggalkan ruangan.

"Zia, selamat ya. Kamu lulus ke tahap selanjutnya." Ujar sebuah suara membuyarkan lamunan Zia.

"Eh? Iya, makasih kak." Zia tersentak dan tak menyadari bahwa ruangan sudah kosong, hanya dia dan kak Erkan yang masih tertinggal disana.

"Kamu nggak pulang?" tanya Erkan melihat Zia belum beranjak dari kursinya.

Zia buru-buru berdiri dengan canggung seraya menjawab, "Ah, iya. Ini mau pulang kak."

"Yuk bareng ke depannya."

"I-iya kak."

Zia dan Erkan berjalan bersebelahan, jarak dari ruangan tadi menuju bagian depan sekolah cukup jauh dan membuat suasananya menjadi canggung. Zia berhenti berjalan ketika mereka melewati area parkiran motor, tanpa sadar dia mencari-cari sosok Zano karena laki-laki itu hari ini menjemputnya memakai motor.

Zia mendesah kecewa saat tak menemukan sosok yang dicari-carinya, membuat Erkan menatapnya penasaran, "Cari siapa?"

"Eh? Nggak kok. Nggak cari siapa-siapa." Zia berdalih, "K-kak Erkan kan bawa motor, saya duluan ya." Ucapnya buru-buru lalu mulai berjalan meninggalkan area parkir menuju gerbang sekolah.

Grep!

"Tunggu, kamu pulang naik apa?" tanya Erkan menahan lengan Zia.

Zia tanpa sengaja menatap mata Erkan dan membuatnya kembali berpikir, dulu saat pertama kali ia melihat mata itu jantungnya berdebar-debar. Tapi, entah kenapa sekarang dia tak merasakannya lagi.

"Saya naik bus." Jawab Zia seraya berusaha melepaskan tangan Erkan dengan hati-hati, takut melukai perasaan laki-laki itu.

"Maaf! S-saya refleks." serunya lalu melepaskan tangan Zia saat ia menyadari gelagat gadis itu. "Mau bareng? Saya bawa motor."

Zia terkejut atas tawaran si ketua OSIS tersebut, dan untuk sesaat Zia berpikir untuk menerima ajakannya. Tapi kemudian Zia langsung menolak ketika wajah Zano terlintas di pikirannya. "Nggak usah kak, saya naik bus aja." Tolak Zia halus seraya tersenyum.

"Oh gitu. Yaudah, hati-hati ya." Ucap Erkan canggung lalu berbalik ke arah parkiran motor.

"Kak Erkan!" panggil Zia tiba-tiba saat laki-laki itu melangkah menjauh.

"Ya?"

Zia berjalan mendekatinya dengan keputusan matang yang baru saja ia putuskan beberapa detik yang lalu, "Saya mau mengundurkan diri dari tes tahap dua."

"Eh? Kenapa?"

"Maaf kak, ini alasan pribadi. Saya nggak bisa kasih tahu. Yang jelas saya nggak bisa datang di tes tahap dua."

Erkan menatap Zia agak lama, barulah kemudian tersenyum dan menjawab. "Oke, kalau itu memang keputusan kamu."

"Makasih kak atas pengertiannya." Balas Zia ikut tersenyum

***

Sweet Bad Luck!Where stories live. Discover now