EMPAT

28.6K 1.6K 208
                                    

Di meja makan, Prity, dan Afiqa sedang menyantap sarapan. Afiqa yang masih berusia lima tahun kurang itu tampak usil dan sulit diatur. Makan pun susah. Baby sister berbaju putih di sisi Afiqa terlihat kuwalahan mengurus gadis kecil itu. Ia sibuk membujuk dan Afiqa tetap tidak mau membuka mulut. Bahkan malah marah-marah. Baby sister akhirnya mengajak bermain, cara itu merupakan cara jitu hingga Afiqa bersedia makan sambil bermain. Namun hanya dua suap saja, setelah itu ia hanya mau bermain tanpa mau makan.

Ziva melintasi ruangan itu dan melirik aktifitas di meja makan.

"Eh cantik, sini dulu!" Prity memanggil Ziva sembari melambaikan tangan.

Ziva mendekati Prity.

Prity menatap penampilan Ziva yang tidak layak menjadi asisten rumah tangga, ia tahu betul pakaian yang dikenakan Ziva bermerek. Ia juga melirik ponsel di tangan Ziva yang harganya diatas rata-rata.

"Kamu ini anak siapa, sih? Penampilan trendy, cantik, tapi kok kerja jadi asisten rumah tangga?" Prity masih memperhatikan penampilan Ziva.

Ziva hanya tersenyum canggung, ia harus jawab apa?

"Ya sudahlah jangan diambil pusing. Itu loh, Afiqa susah banget makannya. Kamu bikinin bubur gih!" titah Prity.

Ziva mengernyit. Bubur? Sedangkan masak nasi saja Ziva tidak bisa, lalu bagaimana caranya ia membuat bubur?

"Ma, Ziva itu kan khusus ngurusin baju, jangan disuruh yang lain-lain, dong!" sela Ammar yang baru saja memasuki ruang makan. Pria itu berdiri di sisi Ziva, membuat Ziva mencium aroma wangi semerbak dari tubuh pria itu. Aroma sampo dan sabun persis yang selama ini Ziva pakai. Tapi sekarang Ziva tidak lagi memakainya, kantongnya tidak cukup lagi untuk membeli barang mahal.

"Mm... Ya udahlah. Baby sister, sana kamu ke belakang bikinin bubur buat Afiqa. Dia paling suka sama bubur, banyakin bawang gorengnya. Kasih potongan sosis!" titah Prity. "Oh ya jangan lupa, nggak usah dikasih seledri. Tapi tetep dikasih daun sop."

Baby sister melenggang pergi bersama Ziva yang turut ke ruangan belakang.

Ammar menarik kursi lalu duduk. Ia mencubit pipi Afiqa yang tembem. Kemudian menarik pundak Afiqa dan menekannya supaya kembali duduk ketika gadis cilik itu melompat-lompat di kursi.

"Nanti jatuh!" tegur Ammar.

"Oke!" Afiqa menurut.

"Afiqa nurut banget sama kamu," celetuk Prity.

Ammar tersenyum.

"Kalau gitu kamu aja yang suapin dia makan, pasti dia mau."

"aku kan mau ke kampus, Ma. Bisa telat nanti kalau ngurusin si bawel ini." Ammar menyentil pipi tembem Afiqa. Ia tak pernah bosan memegang pipi adiknya itu.

"Kak Ammar, jahat. Nggak mau suapin Afiqa. Afiqa mau makan kalau disuapin Kak Ammar."

"Jangan manja. Afiqa kan udah TK. Liat tuh udah pake seragam sekolah, masak anak TK nggak bisa makan sendiri. Malu, dong. Kakak dulu pas seumuran kamu udah makan sendiri, loh."

Afiqa manyun.

Ammar mendorong piring milik Afiqa dan mendekatkan ke bocah itu. "Ayo makan!"

Afiqa memajukan dadanya ke meja, kemudian mulai makan meski dnegan muka cemberut. Ketinggian meja yang setara dengan dagu membuatnya sedikit kesusahan menyendok isi piring, namun ia tetap berusaha.

Ammar tersenyum melihat adik kecilnya yang nakal dan manja selalu menurut padanya. Ia pun memulai sarapan.

"Kita balapan, siapa yang duluan habis, dia pemenangnya."

Married With Tuan MudaWhere stories live. Discover now