Chapter 11

3.2K 371 35
                                    

Aku merasa bodoh telah melepaskannya, meski aku tahu dia akan lebih bahagia hidup tanpa aku. —Park Jimin.



Udara mulai terasa dingin menjelang akhir musim gugur, pohon-pohon menggundul sempurna dan dedaunan yang jatuh menutupi jalanan sudah tak sebanyak hari-hari sebelumnya.

Sepertinya waktu berlalu begitu cepat, dan Jimin telah melewatkan banyak hal. Musim gugur yang dia benci, namun juga dia rindukan dan segala sesuatu yang mengingatkannya pada Seokjin.

"Kita sudah sampai."

Atensi Jimin teralih saat sebuah suara terdengar, tepat setelah mobil yang mengantarnya berhenti. Seseorang dari bangku kemudi turun, lalu membukakan pintu untuk Jimin. Pemuda itu menoleh pada seseorang yang duduk di sampingnya sekilas, sebelum akhirnya keluar tanpa mengatakan apapun.

Semilir angin seketika menyambutnya, mempermainkan anak rambutnya yang entah sejak kapan mulai memanjang. Untuk beberapa saat Jimin terdiam dengan pandangan terlempar pada hamparan perbukitan tak jauh di depannya.

Jimin ingat, dia ingin sekali bisa mengunjungi tempat ini bersama Seokjin. Dulu, jauh sebelum dia menemukan Seokjin, jauh sebelum dia tahu bahwa keinginannya itu tidak akan pernah terwujud.

Jimin menelan salivanya, kini tatapannya beralih pada setangkai lily dalam genggamannya.

"Aku akan pergi sendiri," ucapnya kemudian.

"Tidak—"

"Tenang saja, aku tidak akan kabur." Jimin memotongnya dengan cepat, "Aku cukup tahu apa yang akan orang itu lakukan pada kakakku kalau aku berani macam-macam." tatapan Jimin beralih pada seseorang yang berada di dalam mobil, kemudian berbalik dan melangkah menjauh tanpa menunggu persetujuan dari lawan bicaranya.

Tubuhnya masih terlalu lemas, bahkan pakaian rumah sakit yang dikenakannya pun belum ditanggalkan, namun Jimin tetap bersikeras untuk pergi. Jimin berjalan menapaki jalanan kecil berbatu menuju puncak bukit. Uap tipis keluar dari bilah bibirnya seiring dengan langkah kaki yang terasa berat.

Untuk kesekian kalinya Jimin menghela napas, melepas sesak yang tiba-tiba menghimpit dadanya. Pandangannya mengabur, tertutup oleh kristal bening yang menggenang di pelupuk matanya.

Ini adalah pertama kalinya selama 13 tahun, Jimin mengunjungi orang tuanya. Tepat pada hari ulang tahun sang ibu, langkahnya terhenti tepat di bawah sebuah pohon besar yang menaungi tempat itu.

Jimin tercekat, menahan perih yang diam-diam mencabik hatinya. Ditatapnya sebuah gundukan tanah yang sudah dipenuhi rumput-rumput hijau itu dengan tatapan sayu, tanpa sadar air matanya menetes.

"A-appa..Eomma.." Jimin meluruh, seakan tak kuat lagi menopang berat tubuhnya. Pemuda itu menangis, meluapkan semua perasaan yang selama ini dia simpan seorang diri.

"Selamat ulang tahun, Eomma. Maaf aku baru datang sekarang," Jimin bergumam lirih sambil meletakkan setangkai bunga yang dia bawa, bunga kesukaan ibunya.

Pemuda itu menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan dan dengan gerakan cepat dia menyeka airmatanya.

"Maaf karena aku tumbuh menjadi laki-laki yang lemah, Appa, Eomma.." Jimin terkekeh di akhir kalimatnya. Dia ingat, dulu, orang tuanya tidak pernah suka melihatnya menangis. Mereka bilang, menangis hanya dilakukan oleh orang-orang lemah, dan mereka tidak ingin anak-anaknya tumbuh menjadi orang yang lemah.

Jimin berdeham pelan sebelum melanjutkan ucapannya, "Aku...bertemu Seokjin Hyung." Jimin merasa kesulitan menelan salivanya, tenggorokannya tercekat.

FaithWhere stories live. Discover now