Chapter 3

4.3K 488 25
                                    


Jimin berlari-lari sambil melirik jam tangannya, menuju kantor polisi. Dia tersenyum dan memberi hormat pada petugas yang berjaga di depan.

"Bukankah ini masih terlalu pagi untuk datang kemari, anak muda?"

Jimin terkekeh menanggapi ucapan ketus si petugas, ini bukan pertama kalinya ucapan semacam itu mampir di gendang telinganya. Selama 13 tahun ini, Jimin sering datang hanya untuk menanyakan kabar tentang pencarian kakaknya dan itu membuatnya terbiasa dengan sikap semua petugas disana.

"Sepulang sekolah saya harus bekerja, Bapak tahu kan?" sahutnya santai lalu berjalan mendekati salah seorang petugas yang duduk di sudut ruangan.

"Selamat pagi—"

"Maaf, kami belum mendapatkan informasi apapun tentang kakakmu," ucap petugas itu bahkan sebelum Jimin menyelesaikan kalimatnya, dia sudah terlalu hafal dengan maksud kedatangan pemuda itu.

Jimin tersenyum meski sebenarnya dia kecewa saat lagi-lagi kalimat itulah yang petugas itu katakan,

"Terima kasih, saya akan datang lagi nanti." Jimin membungkuk kemudian berbalik, namun baru saja Jimin akan mengambil langkah, ucapan petugas itu membuatnya membeku di tempatnya.

"Berhentilah, Park Jimin." Jimin menoleh tanpa merubah posisinya, dia tetap berdiri membelakangi si petugas.

"Apa kau tidak lelah terus menunggunya? Mungkin kakakmu sudah meninggal atau mungkin dia—"

"Tidak." potong Jimin.

"Aku tidak akan berhenti, meskipun kakakku mungkin sudah meninggal.." Napasnya tiba-tiba tercekat, matanya memanas. "Aku akan akan tetap mencarinya." Jimin menelan salivanya kasar.

"Aku akan mencari tahu di mana dia dimakamkan," ucapnya lalu melangkah pergi.

Tidak seperti biasanya yang selalu berpamitan dengan ramah, Jimin justru melangkah dengan cepat, keluar dari gedung itu begitu saja membuat para petugas yang berjaga di luar sedikit kebingungan melihat sikap anak itu.

Jimin mendongakkan kepalanya menatap langit, mencegah air matanya agar tidak tumpah. Pemuda itu menarik napas dan menghembuskannya perlahan, Jimin bahkan harus melakukannya berulang kali untuk meredam gejolak yang memenuhi dadanya.

"Aku tidak boleh menyerah kan, Eomma?"

Jimin meraba dadanya, meraih liontin dari kalung yang melingkar di lehernya—satu-satunya hadiah dari sang ibu yang masih tersisa, seolah tengah berbicara pada ibunya.

Lagi, Jimin menghembuskan napasnya, meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua usahanya tidak akan sia-sia. Dia pasti akan bertemu kakaknya suatu hari nanti.

Jimin memasukan kembali liontin itu ke dalam bajunya sebelum bergegas pergi, dia harus ke sekolah dan dia sedang tidak ingin terlambat hari ini.

Ckiiitt....

Jimin terbelalak kaget saat suara memekakkan itu terdengar di telinganya. Tubuhnya mungkin sudah tergeletak bersimbah darah di aspal jika pengemudi mobil itu tidak cepat-cepat mengerem mobilnya.

Jimin menatap seseorang yang duduk di belakang kemudi yang juga tengah menatapnya, orang itu juga pasti terkejut. Jimin membungkuk meminta maaf, lalu kembali berlari menuju halte di seberang jalan.

---

Seokjin mengumpat dalam hati sambil mengelus kepalanya yang sakit karena membentur setir saat mobil yang dikendarainya terpaksa di rem mendadak. Dia hampir saja menabrak seseorang yang tiba-tiba melintas di depannya.

Seokjin menatap orang itu, dia akan keluar untuk memastikan keadaannya namun suara dering dari ponselnya mengalihkan atensi Seokjin.

Satu pesan di terima dari sang kakek,

FaithWhere stories live. Discover now