Chapter 1

7K 618 45
                                    

Seandainya dulu aku mengambil keputusan yang berbeda, akan seperti apa jalan ceritanya?

.

.

Ini sudah 13 tahun sejak Park Seokjin memutuskan untuk melepas hal-hal paling berharga dalam hidupnya dan memilih untuk menyambut uluran tangan seseorang yang dulu dia anggap bisa menyelamatkannya dari keterpurukan. Dan sudah selama itu pula dia tidak lagi hidup sebagai Park Seokjin, kini semua orang mengenalnya sebagai Kim Seokjin, dokter muda yang terkenal dengan kemampuan mumpuni dan segudang prestasi yang tidak dapat diragukan lagi, juga tittle sebagai cucu tertua dari pemilik perusahaan medical terbesar di Korea membuatnya terlihat sempurna seolah tidak memiliki celah sedikitpun.

Namun, siapa sangka bahwa semua itu tak lantas membuatnya bahagia. Seokjin tidak pernah bahagia dengan hidupnya. Tatapan matanya selalu tampak sayu dan kosong, seolah tidak ada kehidupan disana. Semuanya terlalu memuakan menurut Seokjin. Dia lelah, sungguh. Bahkan untuk sekedar menarik napas, semuanya terasa berat.

Seokjin menarik napasnya dalam-dalam mencoba meraup oksigen sebanyak-banyaknya agar terlepas dari sesak yang menghimpit dadanya.

Sepasang obsidian itu menutup rapat kala ingatan tentang kejadian beberapa waktu yang lalu kembali melintas di benaknya. Saat dia berkumpul dengan rekan-rekan kerjanya di auditorium, saat dia dipanggil ke atas podium dan saat dia diberikan penghargaan atas prestasinya. Seokjin mengingat semuanya dan itu semakin membuatnya muak.

Menjadi dokter dengan prestasi terbaik di usianya yang baru menginjak 25 tahun, siapapun pasti akan bangga.

Tapi tampaknya semua itu tidak berlaku untuk Seokjin, dia tidak bahagia sama sekali dengan pencapaiannya. Dia justru merasa semakin tertekan, bebannya akan semakin berat dan tanggung jawabnya juga akan semakin besar. Terlebih lagi seseorang pasti akan menuntutnya untuk mencapai hal yang lebih besar dari apa yang dia raih selama ini.

Seandainya bisa, Seokjin akan memilih hidup biasa-biasa saja. Persetan dengan prestasi apalagi reputasi, toh sebenarnya itu bukan keinginannya.

Seokjin menghela napas sekali lagi, namun sesak didadanya tidak juga berkurang. Kenapa dia harus menjalani kehidupan seberat ini?

"Apa yang kau pikirkan?"

Seokjin terkesiap, dia menoleh dan mendapati Namjoon—sahabatnya, berdiri di ambang pintu entah sejak kapan.

Seulas senyum terpatri diwajah pria berlesung pipi itu kala irisnya bertemu pandang dengan milik Seokjin. Sementara Seokjin hanya menatapnya datar seperti biasa.

"Kudengar kau mendapat penghargaan dari presdir, apa itu benar?" Namjoon berujar sambil berjalan mendekat ke arah Seokjin.
Seokjin tidak menjawab dan kembali memalingkan pandangannya keluar jendela.

"Kau memang selalu bisa diandalkan."

Mendengar itu, Seokjin tertawa. Entahlah apa yang lucu, namun tawa itu justru terdengar menyedihkan menurut Namjoon.

"Kau meragukanku, Joon?" sahut Seokjin setelahnya.

"Tidak..kakekmu pasti bangga."

Seokjin tersenyum kemudian mengangguk membenarkan ucapan Namjoon. Kemudian hening kembali menyelimuti keduanya.

Namjoon menghela napas menatap Seokjin. Dia tahu sahabatnya sedang tidak baik-baik saja, walaupun Seokjin pandai menutupinya.

Namjoon mendecak bosan, "Mau temani aku minum teh?"

FaithWhere stories live. Discover now