Tujuh

6.4K 613 13
                                    

Chilla pikir dia akan mendapatkan waktunya sendiri setelah Raka mengatakan kepada keluarganya kalau pria itu ingin melamarnya. Lima jam pertama di dalam kamarnya, Chilla memutuskan untuk merencanakan kepergian mendadak tanpa memberitahukan siapapun. Terserah bagaimana Raka menanggapinya tapi Chilla benar-benar harus kabur dari pria itu.

Hal pertama yang membuatnya berpikir panjang adalah jarak umur keduanya. Raka itu nyaris seumuran dengan adiknya yang paling kecil, dan itu berarti menjadikan Chilla seperti pedophile. Oh, mending dia kabur saja daripada menjelaskan baik-baik kepada Raka yang bisa saja nekat memaksanya dengan membongkar masa lalu mereka.

Mengingat masa lalu mereka, Chilla terduduk dengan lemas di atas ranjangnya. Menghapus air matanya yang perlahan turun. Dalam hati mengomel karena bisa-bisanya dia menangisi hal seperti itu yang dulu menjadi keputusan mutlak dalam hidup Chilla.

Masa lalu bersama Raka bukanlah hal yang ingin Chilla ingat saat ini. Raka yang datang ke hidupnya tiba-tiba, tiba-tiba dengan pria itu yang sudah bercerai dan kemudian sekarang mengajaknya menikah. Gila sudah dunia. Chilla memilih menarik nafasnya dalam-dalam setelah mendengar ketukan pintu kamarnya.

"Chilla... Mama, boleh masuk?"

Chilla berjalan ke pintu kamarnya setelah memastikan wajahnya tidak sembab, "Iya, Ma..."

Ibunya berdiri sambil bersandar ke daun pintu. "Kamu belum tidur, kan?"

Chilla menggelengkan kepalanya, kemudian menundukkan kepalanya ketika sang Mama membelai puncak kepalanya pelan, "Bentar lagi aku tidur, Ma..."

"Mama gak nanya kamu kapan tidurnya, sih. Cuma..." Mama mengangkat dagu putri sulungnya itu dengan lembut lalu tersenyum, "Mama mau tanya kok bisa gitu, Raka ngelamar kamu?"

"Mamaaaaaah...." Chilla merengek dengan kesal ketika akhirnya Mama malah tertawa dengan pelan ketika melihat reaksi yang Chilla berikan, "Itutuh, gak seperti yang Mama pikirin deh, pokoknya. Dia tuh emang kelewatan banget kalo udah becanda..."

"Gak ada kejadian tanpa sebab lho, ya. Mama gak mau, Mama gak tau apa-apa kalo misalnya nanti ada yang tanya kamu sejak kapan punya hubungan sama Raka..."

Chilla menaikkan satu alisnya, "Mah, udah deh. Aku sama Raka itu yang murni aja dari dulu kenal ya gara-gara Devon sama Kris. Udah, gitu aja..."

"Mama pernah muda ya, Chill. Mama tau apa maksud Raka ngomong kayak gitu ke Papa, terus caranya dia ngomong soal keseriusan mau---"

"Mah,,," Chilla menyela dengan menatap penuh kepada mata sang Mama, "Raka pernah gagal lho, kemarin nikahnya. Mama gak takut kalo misalnya nanti dia bakalan ngelakuin hal yang sama ke aku?"

Sang Mama tidak langsung menjawab pertanyaan Chilla, melainkan menatap serius kepada putrinya dengan tenang, seolah mencari apa yang diinginkan Chilla sebagai jawaban. "Sekarang, Mama tanya sama kamu..."

Chilla menunggu dengan tidak sabar dan juga tidak tenang. Bukannya dia takut salah memberikan jawaban. Tapi Chilla takut seandainya apa yang sudah menjadi masa lalu yang sudah dia tanam dalam-dalam malah terbongkar kembali dan justru membuat dirinya sakit. Terlebih lagi kalau sampai kedua orang tuanya mengetahui apa yang sudah lama dia sembunyikan. Chilla tidak mau semua itu terjadi. Apalagi sampai Raka...

"Chill..."

Chilla kembali tersadar ketika Mamanya memanggil, "Kenapa, Ma?"

"Dih, kebanyakan melamun sih. Padahal Mama nanya, kamu beneran sekarang mau milih sendiri dulu lagi? Mama takut loh ya kalo ternyata kamu punya ketertarikan yang berbeda dari cewek pada umumnya,,,"

"Ih..." Chilla bergidik ngeri ketika mendengar ucapan Mamanya, "Aku mah suka tau sama cowok. Tapi gak Raka juga, Ma..."

"Siapa dong? Kamu tuh kelamaan jadi perawan,,,"

Chilla menelan ludahnya ketika Mama mulai mengomentari bagaimana tanggapan orang-orang mengenai Chilla yang belum juga menikah.

"Denger ya, Chil. Kesempatan buat menikah sama orang yang mencintai kita itu tipis. Kamu pikir sendiri, Tuhan kurang baik apa sama kamu sampai Dia kasih kamu ksempatan buat melengkapi separuh agama kamu. Sudah banyak ya laki-laki yang kamu tolak, Mama gak mau lagi kamu ngelewatin kesempatan kamu, Chill. Kamu tau kan maksud Mama?"

Chilla menganggukkan kepalanya. "Iya, Ma. Mama jangan maksa gitu..."

"Kalo Mama gak ngomong sama kamu sekarang, otak kamu udah pasti mikir cara supaya nolak Raka. Denger, Chill. Mama sudah jelas bakalan lebih setuju kamu sama Raka dibanding sama yang lain..."

"Kok gitu? Mama mau emang kalo misalnya nanti aku dimainin sama orang? Jadi, janda---"

Mama menggeleng-gelengkan kepalanya, "Mama bisa liat, Raka bukan anak yang kayak gitu ah. Kamu aja tuh yang diem-diem punya hubungan, sayang-sayang---"

"Ih, Mama tuh. Mama gak tau apa-apa. Aku sama Raka gak ada hubungan kayak gitu. Ya kali aku sama brondong..."

"Terus, kenapa liat-liatan kayak gitu, tadi? Pake acara lama beduaan di kamar. Eh, udah..." Mama mengangkat tangannya keatas memberikan isyarat agar putri sulungnya itu berhenti mengelak, "Kita gak lebay yang gak ngasi kamu restu, ya. Eh, Mama udah kenal juga sama orang tuanya Raka, Mamanya sudah telpon juga. Jadi, tinggal kamu aja. Kalo mau perawan tua mah silahkan. Adek-adek kamu kalo udah nikah gak mau urusin kamu nanti..."

Chilla baru saja akan mengeluarkan argumennya, tapi sang Mama kembali memotong dengan tegas

"Eh, udah. Kapan lagi ada laki ganteng mau sama kamu. Udah ada pekerjaan juga. Dari pada kamu keluyuran gak jelas. Mama Papa mati ntar gak ada yang urus kamu..."

"Mamaaaaahhhh" Chilla memprotes ketika akhirnya sang Mama tidak peduli kepada dirinya dan meninggalkan perempuan itu berdecak kesal. Sialan, Raka pakai pelet apa ke orang tuanya sampai direstui begitu? Chilla semakin pengen menangis rasanya.

IFMVIYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang