[22] Kebersamaan (2)

617 135 5
                                    

Maureen dapat merasakan denyut jantungnya berpacu dengan cepat. Dalam diam gadis itu menatap lurus lintasan di hadapannya. Ya, ini tidak terlalu buruk daripada ia harus berjalan jauh dengan kondisi lemahnya. Menumpang di punggung tegap Lucas memang tidak buruk, hanya saja berefek pada detak jantungnya yang berpacu lebih cepat. Baiklah, jarak ini ... posisi ini, cukup. Maureen tidak tahan lagi.

"Lucas, bisa kita istirahat sebentar?"

Lucas menoleh tanpa menghentikan gerakan ekornya. "Kenapa? Kamu capek?"

Agak lucu, Lucas yang repot membawanya berenang. Namun, Maureen yang merasa lelah. Kubur saja gadis itu hidup-hidup karena wajahnya nyaris memerah. Lucas menghentikan perjalanannya dan menahan tubuh Maureen agar tidak jatuh. Maureen turun perlahan-lahan dan menginjakkan kaki ke tanah.

"Terimakasih," ujar gadis itu.

Kelebihan dirinya berada di sini adalah, Maureen tidak perlu lagi minum ketika haus. Karena ia sudah hidup dengan menghirup air. Setiap saat paru-parunya basah, kondisi yang mungkin mematikkan bagi makhluk darat karena dapat kehabisan napas.

"Jadi, apa kamu sudah bisa menebak kapan penyusutan itu terjadi lagi?" tanya Lucas.

Maureen terdiam sejenak merenungkan sesuatu dalam otak kecilnya. Maureen tidak pernah menghitung berapa kali dirinya menyusut. Mengenai prediksi kejadian tersebut akan menimpanya lagi ataupun tidak, Maureen tidak pernah memikirkannya. Ah, otaknya seketika tumpul untuk membahas hitung-hitungan. Nilai IPA-nya memang tinggi. Namun, tidak dengan nilai matematikanya. Mendapat nilai pas rata-rata saja Maureen merasa bersyukur. Oke, kembali ke bahasan awal.

"Entahlah. Aku pikir, penyusutannya terjadi sewaktu-waktu, tanpa waktu yang pasti. Bisa saja terjadi setelah ini, atau mungkin sekarang?" Maureen mengendikkan kedua bahunya seolah tak tahu.

Lucas menatap Maureen dengan senyum yang memperlihatkan deretan gigi putihnya. Baiklah, Maureen baru memperhatikan hal ini. Bahwa senyum Lucas cukup memabukkan. "Tenanglah, kamu akan baik-baik saja, Maureen."

Maureen mengangguk, tapi terdiam beberapa saat kemudian. "Kenapa panggilmu berubah?"

"Maksudmu panggilan, 'Manusia'?" Lucas tertawa terbahak. "Hei, itu panggilan yang lucu, aku senang menggunakannya. Tapi aku tahu kamu enggak suka dipanggil begitu, makanya aku enggak pakai lagi. Tapi, ya ... Enggak seharusnya kamu marah. Kalau kamu marah, itu Tandanya kamu benci panggilannya? Benci dengan sebutan manusia?" tanya Lucas dengan terkekeh, sedangkan Maureen menatap terpaku. Ah ... gadis itu tidak pernah memikirkan hal ini. Bukan berarti Maureen membenci sebutan itu untuknya, hanya saja nada Lucas ketika menyebutkan sungguh tidak mengenakan. Mungkin itu sebabnya Maureen merasa sedikit risih. Ya, sedikit.

Baiklah, membahas hal ini membuat gadis itu merasa canggung. Maka dari itu dengan cepat Maureen merubah topik mereka. "Kira-kira bagaimana keadaan Deana, ya? Dia kelihatannya sangat khawatir sewaktu kita pergi ... Ah, itu ... umm .... Kamu bisa pakai gelombang air?"

Lucas mengerutkan kening mendengar perkataan Maureen. Sekarang Maureen benar-benar salah tingkah. "M-maksudku, alat komunikasi jarak jauh kalian. Seperti telepon," jelas gadis itu terbata.

Lucas kembali meraut bingung sebelum tawanya pecah seketika.

"Ha ha ha ha." Pemuda siren tersebut tidak dapat mengontrol tawanya. Tanpa Maureen menjelaskan, Lucas sudah tahu maksud gelombang air. Lucas tidak bingung sama sekali dengan itu. Namun, yang membuatnya mengerutkan kening adalah akibat dari sikap Maureen yang mendadak tergugu-gugu.

Memperhatikan gadis itu yang berbicara terbata dengan mata menunduk benar-benar tidak mencerminkan kepribadiannya. Lucas orang pertama yang melihat perubahan Maureen.

Waw, ini terasa menakjubkan.

Sementara Maureen sedang dilanda bingung, dengan Lucas yang bersikap aneh. Maureen tidak merasa mengatakan sesuatu yang salah. Entah apa yang menyebabkan Lucas tertawa.

"Apa yang lucu?" tanya gadis itu dengan kening berkerut.

Seolah tawanya tak dapat berhenti, Lucas sengaja menepuk-nepuk dadanya keras. Maureen benar-benar tidak menyukai ejekan ini. Akhirnya Lucas menghentikan tawanya.

"Kamu lucu. Sungguh berpikir aku enggak tahu gelombang air? Dan ah, apa namanya tadi. Oh iya, telpon. Apa itu telpon?"

"Telepon!" Maureen membenarkan. Ia jadi gemas sendiri. Maureen menjambak rambutnya sendiri dan memilih duduk menjauh, sedangkan Lucas termangu dalam duduknya. Dirinya melakukan kesalahan?

***

Maureen duduk dengan memeluk lututnya. Jangan berpikir bahwa gadis itu merasa kedinginan, karena kini bahkan tubuhnya tak kunjung menggigil walau terendam berhari-hari di dalam air. Kulitnya juga tidak terlihat mengerut, masih terasa glowing.

Dengan tatapan datar ia meneliti sekitar. Jangan tanyakan keadaan air di sana, karena kabarnya berlipat kali lebih buruk dari semula. Ya, Maureen harus mengabaikan keadaan sekitarnya agar tidak membawanya pada pikiran buruk.

"Hm, kamu masih marah?" Suara bariton Lucas terdengar lembut. Maureen mengetahui Lucas kini duduk di belakangnya. Namun, Maureen terlalu malas atau mungkin gengsi untuk sekedar menoleh. Gadis itu menenggelamkan wajah di lutut.

Lucas menggaruk tengkuk tak gatal. Ia dalam keadaan serba salah. Tidak pernah terbesit dalam otak jahilnya itu kalau akan seperti ini ketika berhadapan dengan gadis yang sedang kesal.

"Maaf."

Maureen tidak menghiraukan permintaan maaf itu.

"Maaf, Maureen."

Gadis itu tidak bisa tidak terkejut. Tubuhnya seketika dilanda kejang saat merasakan sesuatu yang tegap menempel di punggungnya. Benar, punggung Lucas. Mereka dalam posisi saling bersandar.

Lucas meluruskan ekornya dengan punggung menempel di punggung Maureen. Lucas melipat kedua tangan di depan dada. "Semua perlahan berubah, ya. Tempat ini."

Maureen mendengar dalam diam. Bahkan gadis tersebut dapat merasakan detak jantung pemuda siren itu yang berdetak normal.

Sebaliknya, Lucas tidak dapat merasakan detak jantung Maureen.

"Bukannya manusia juga memiliki detak jantung?" batin Lucas.

"Sudah. Aku sudah memaafkan kamu. Sekarang menjauhlah," ujar Maureen dengan nada mengusir.

Lucas tak beranjak di tempatnya. "Kenapa kamu mau aku pergi?" tanya pemuda siren itu.

"Eh? Enggak ada yang ngusir kamu, kok. Tempat ini 'kan luas, bisa cari tempat duduk lain."

"Itu 'kan, kamu ngusir," ujar Lucas pura-pura cemberut.

Maureen terbelalak merasakan Lucas menjatuhkan kepalanya di pundak Maureen. Lucas seolah menganggap Maureen sebagai bantal.

Bahkan dengan posisi ini Lucas tak kunjung merasakan detak jantung Maureen. Lucas kembali terdiam.

To be continued.
921 word.

⚪️Dyahputri⚪️
(28/08/2018)
21:13

Underwater World: Gate of Berry Head ArchWhere stories live. Discover now