[18] Selamat

699 158 1
                                    

Dari awal, perpisahan memang tingkatan paling berat setelah mengenal. Bagai syair singkat yang entah siapa penulisnya, "Buat apa bahagia akibat pertemuan, jika akhirnya patah hati karena berpisah?"

Perpisahan adalah hal yang mutlak. Perpisahan sendiri beragam jenisnya, ada yang disebabkan oleh putusnya ikatan, maupun perbedaan alam yang ditempati. Tunggu sebentar, mengapa kita membahas perihal perpisahan?

Kembali ke Deadly Swirl, Maureen nyaris melepaskan tangannya karena mati rasa. Namun, dengan sekuat tenaga Lucas berusaha merapatkan pegangan mereka kembali. Detak jantung mereka seperti tabuhan genderang kuno yang bukan main suaranya. Maureen merasa mual berada di posisi terbalik seperti ini secara terus-menerus.

Apa dikata, pegangan Maureen sungguhan terlepas. Maureen berputar-putar tertarik mendekat ke pusaran. Namun, sebuah tali goni nyaris menampar wajahnya. Sempat tertangkap oleh pendengarannya ketika Lucas berteriak meminta Maureen meraih tali tersebut cepat-cepat. Gadis itu terombang-ambing di udara, diputar-putar bagai buah dalam blender. Sebuah batu karang melayang dan bergerak ke arahnya. Maureen melayang dengan was-was, ia tidak dapat mengontrol, bahkan menggerakan tubuhnya di ketinggian itu.

Satu-satunya lensa yang dimilikinya malah terlepas dan melambung ke dalam pusaran. Semua mulai terasa buram, mata minusnya tidak dapat melihat dengan jelas apa pun di dekatnya. Maureen dalam keadaan yang sangat panik. Batu karang itu semakin dekat ke arahnya.

Pyashh.

Nyaris batu karang tersebut menghantam kepalanya. Ia masih selamat karena hanya puncak rambutnya yang sedikit bergesekan dengan batu karang. Ia terpana untuk beberapa detik, nyaris saja isi kepalanya berhamburan keluar. Namun, sisi baiknya adalah ... Maureen berhasil meraih tali goni yang dilemparkan Lucas ke arahnya. Gadis itu menggenggam erat tali, serta kakinya meliliti tali. Meski terhuyung-huyung Lucas menarik tali tersebut sekuat tenaga. Pemuda siren itu mengikat tali pada batu karang raksasa di sampingnya dan turut menariknya turun.

Maureen mendarat dengan lutut mencium pasir terlebih dahulu. Gadis itu berdiri dengan cepat walau terseok-seok, Lucas mengamit bahunya, dan mereka pergi menjauh. Ketika jarak mereka telah cukup jauh dengan pusaran Lucas mengentikan berenang mereka. Maureen tidak dapat menghentikan detak jantungnya yang tak henti memburu. Gadis itu jatuh lemas di atas pasir. Ia tidur terlentang dengan kedua tangan mengembang lemah. Maureen tidak pernah dihadapkan dengan keadaan semenegangkan seperti tadi. Kakinya bahkan tidak dapat digerakan sekarang ini.

Maureen merentangkan kedua tangan tanpa bicara. Kelopak matanya terus terjaga tanpa berkedip, seolah satu kedipan saja akan menghancurkan muka bumi ini. Bagai detik yang terus berjalan, jantung Maureen tak berhenti berdetak kencang. Jantungnya terasa bedebum ditabuh. Setidaknya tempat yang mereka duduki saat ini cukup aman dari yang tadi, meski masih tak terlihat wujud makhluk hidup selain mereka. Ya, mereka masih harus berjaga-jaga.

Lucas memandang gadis yang tidur terlentang di atas pasir. Pemuda siren itu memilih duduk di sebelahnya. Mereka terdiam cukup lama. "Seberapa jauh perjalanan kita?" tanya Maureen masih terjaga.

"Tiga hari?" ujar Lucas dengan nada bertanya. Ia sendiri masih tidak dapat menebaknya. Namun, kalau begini keadaannya, mereka mungkin saja baru sampai setelah seminggu nanti. Itu pun belum pasti. Lucas ikut tiduran di atas pasir. Pemuda itu melipat kedua tangannya sebagai bantalan. Pandangannya lurus menatap atas. Hanya ada air, tentu saja. Bahkan jika seorang siren nekat berenang ke atas, ia tak akan pernah menemukan daratan. Di mana-mana hanya ada air. Jadi jika Lucas nekat mengantar pulang Maureen dengan terus berenang ke atas, akan percuma saja.

Maureen masih bertahan dengan matanya yang masih terbuka lebar. Bagaimana pun gadis itu memfokuskan pandangannya, apa pun yang dilihatnya pasti tetap kabur. Maureen tidak pernah suka memakai lensa kontan, maka dari itu ia tetap memilih kacamata besinya.

Perjalanan yang mereka tempuh masih jauh dan Maureen mendapat musibah dengan kehilangan kacamatanya. Gadis itu akhirnya berkedip dan duduk dengan kedua tangan masih terlentang di kedua sisi. Napasnya telah beraturan kembali, tapi tidak dengan pikirannya. Sejauh ini, ia tidak pernah merasa selelah ini. Maureen mendesah.

"Kenapa?" tanya Lucas tanpa menoleh, pandangan pemuda itu masih saja lurus menatap air kosong. Bahkan bergeser pun tidak. Kemungkinan pemikiran mereka sama.

"Enggak. Kupikir, kita bisa bermalam di sini saja."

Lucas menatap sekitarnya. Air mulai menggelap. Pemuda itu bangkit dan memilih posisi yang sama dengan Maureen, yaitu duduk. Dipandanginya ekornya yang bersisik hijau kebiruan. "Kamu tunggu di sini," ujar Lucas. "Aku akan mencari makanan di sekitar sini."

Lucas pergi setelah menoleh sejenak pada Maureen. Sedangkan gadis itu masih terbuai akan pikirannya. Ya, ini keputusannya. Maureen yang memutuskan untuk mencari berystone. Dengan kebaikan Lucas mereka akhirnya bisa sampai di sini, itu sebuah kemajuan besar. Maureen yang pendiam dan irit bicara di kelas, bisa mengalami hal menegangkan seperti tadi. Perkembangan yang sangat pesat.

Maureen melirik sosok siren yang tengah berenang menjauh. Entah di mana Lucas akan menemukan rumput laut di tempat seperti ini.

Karena ini masih termasuk daerah Deadly Swirl, mereka masih harus berhati-hati. Apa pun dapat terjadi di tempat seperti ini. Masih ada puluhan bahkan ratusan pusaran mematikan yang akan menyambut mereka seiring perjalanan. Perjalanan mereka cukup berbahaya. Pantas saja Deana selalu menanyakan soal kesungguhan Maureen dengan pencarian ini. "Nak, perjalanan itu akan berbahaya. Kamu sungguh tetap mau pergi?" tanya Deana kepadanya waktu itu.

Ini memanglah jalannya. Memang jalan yang seharusnya dilalui Maureen jika ingin kembali ke rumahnya.

To be continued.
841 word.

⚪Dyahputri⚪
(22/08/2018)
11:58

Underwater World: Gate of Berry Head ArchWhere stories live. Discover now