[5] Occupants

1.5K 261 31
                                    

Aku duduk dengan pikiran yang entah menerawang ke mana. Sejauh mataku memandang, hanya ada air. Semestinya aku hanya perlu berenang ke atas untuk bisa pulang. Namun, sudah kucoba berkali-kali untuk melakukan itu, tapi nyatanya tubuhku tidak bisa terangkat lebih dari satu meter.

Aku tidak pandai berenang. Ah, tepatnya tidak bisa. Gaya renang yang kuingat hanya gaya batu dan botol tenggelam. Tubuhku yang kurus juga tidak membantu apa-apa.

Tadi Bibi Deana memberitahuku bahwa ada taman beberapa puluh meter ke barat daya. Tentu saja aku tidak tau arah mata angin di sini, tapi Bibi Deana yang mengerti langsung menyuruhku pergi ke kanan.

Aku sempat meneguk air di sekitarku ini, sebelum akhirnya membuatku menyesal karena meragukan ke-higienis-annya. Pasti banyak yang buang air di sini.

"Hm, tunggu dulu. Bagaimana cara mereka buang air?" gumamku.

Yah, itu tidak penting untuk kupikirkan saat ini.

Kugoyangkan kedua kakiku, menikmati buih-buih yang muncul.

"Manusia di bawah air?"

Aku menoleh ke arah suara itu. Sesuatu melayang di air--aku bingung apa pengganti berdiri di sini. Untuk sesaat, diriku terpesona oleh makhluk itu. Sangat cantik. Rambut panjangnya yang berwarna putih dijalin pada tiap sisi. Baru kulihat pahatan dagu, telinga, dan hidung selancip itu. Bulu mata lentik yang manis. Alis tebalnya menunjukkan ketegasan. Tentu saja dia siren, sama seperti Bibi Deana.

"H-hai," jawabku.

Gadis siren itu menatapku sejenak sebelum berdecak, "Hai, Manusia. Kau tersesat di sini, eh?"

Dia menatapku dari atas dan berhenti ketika melihat kakiku. "Bagaimana manusia sepertimu bisa tersasar ke sini? Astaga."

Hanya perasaanku saja atau nadanya memang tidak bersahabat. Kupaksakan seulas senyum kepadanya yang dibalas decak meremehkan. Aku menyadari bahwa dia tidak menyukaiku, maka aku berbalik badan, lalu berniat pergi.

"Mau ke mana? Paru-parumu sudah penuh air, ya?" cerocosnya.

Tanpa bisa kuhindari, mataku menatapnya tajam. "Panggil aku Maureen. Kumohon pergilah, aku hanya ingin melihat-lihat saja."

Tidak kusangka wajahnya berubah menjadi semerah tomat setelah mendengar perkataanku, bahkan urat-urat di dahinya muncul. Iris kuningnya terlihat menantang. "Kau memang tidak sadar diri, ya ... mau mengusirku di tempatku sendiri?" Siren itu tertawa.

Demi apa pun, belum semalam diriku berada di sini, tetapi kini sudah memiliki satu musuh. Mengapa semuanya sama? Tidak di sekolah ataupun di sini, mengapa diriku selalu dibenci?

Aku terjebak di tempat ini dan ingin segera kembali ke rumah, tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Di sisi lain, siren ini malah datang dan membuat kepalaku pening.

"Benar, jangan berbicara ... karena kau memang harusnya mendengarkan. Perkenalkan namaku Shimpony, adik dari Tetua Matias pemimpin negeri ini. Aku memiliki pecahan berrystone ...." Dia menatapku arogan, kepalanya diangkat tinggi. "... Dalam tubuhku."

Jikalau boleh, aku akan berseru dengan lantang, "Ya, apa pun itu. Aku bahkan tidak mengerti apa yang kau katakan."

Akan tetapi, hal itu akan mendatangkan masalah bagiku jika kuucapkan. Jadi, yang kulakukan adalah menghela napas panjang, lalu berkata, "Baik, Shimpony. Semoga kita bisa berteman."

Tidak kusangka, itu justru semakin membuatnya kesal. Wajahnya akan meledak sebentar lagi.

"Apa?!"

Ya ampun, apakah aku mengatakan hal yang tidak pantas?

Ada pergerakan air dari belakang sana. Ketika menyadarinya, sesosok siren lain sudah berada tepat di tengah-tengah kami. Aku menahan napas, menyadari bahwa siren laki-laki yang baru datang itu tidak memakai baju. Maksudku Bibi Deana dan Simphony juga tidak mengenakannya, tetapi setidaknya mereka menutupi tubuh dengan renda dari daun.

Astaga, sulit bagiku untuk menjelaskannya.

"Hei, kalian ribut sekali," ujarnya menatapku sekilas, lalu beralih ke arah Simphony. "Simphony? Mathias mencarimu ... bunga airnya rontok karena ada yang memecahkan gelembungnya."

Wajah Shimpony terdiam sebentar untuk mencerna apa yang didengarnya, sebelum akhirnya memucat karena kaget. "Dia sudah pulang?"

Siren laki-laki di sebelahku ini hanya mengedikkan bahu. Masih dengan wajah paniknya, Simphony berenang menjauh tergesa-gesa. Aku mengerutkan alis, sedikit bingung dengan semua ini. Namun, baguslah kalau Simphony sudah pergi.

"Hai, aku Lucas. Siapa namamu?" tanya sosok itu dengan senyuman lebar.

Aku buru-buru menunduk. "Terima kasih sudah membantuku, panggil aku Maureen."

Air di dekatku berayun, jantungku dibuat nyaris copot karena wajahnya tiba-tiba muncul di bawahku. Lucas membuat tubuhnya melayang di sana, tangannya menyangga dagu. "Kenapa menunduk sih?" tanyanya.

Kudorong tubuh ke belakang hingga jatuh terjengkang ke tempat berpasir. Ringisanku terdengar. Ini memalukan.

"Eh? Kaget, ya? Maaf, sini aku bantu." Lucas mengulurkan tangan yang langsung kusambut. Kutepuki pakaianku untuk menghilangkan pasir yang menempel.

"Terima kasih lagi."

Dia menatapku dengan terkekeh. "Kau kaku sekali. Ayo, ikut denganku."

Dahiku mengerut. "Ke mana?"

"Kupikir kau ... lapar?" tanyanya yang membuat wajahku memerah. Mungkin dia mendengar bunyi gemuruh perutku sejak tadi.

Lucas tersenyum tipis, lalu menarik tanganku hingga kami berada di posisi bersebelahan. Ekornya mulai bergerak, membawa kami pergi ke suatu tempat. Aku hanya diam mengikuti. Sungguhan diam karena tangannya menarik tubuhku untuk berenang di sampingnya, tanpa diriku harus berusah payah mengayunkan kaki.

Aku menoleh ke samping. Wajah yang teduh, berambut kecoklatan, dan irisnya biru terang. Ada hal menarik darinya, dia memiliki tindik di telinga kiri. Jika diibaratkan di sekolah, mungkin Lucas mirip troublemaker. Aku selalu menjaga diri agar tidak terlibat masalah dengan pembuat onar. Namun, tidak mungkin diriku membenci teman baruku ini.

"Kita sudah sampai," ujar Lucas melepaskan genggaman kami.

Tampak di depan sana hamparan daun hijau yang sempat diberikan Bibi Deana padaku. Jadi, itu memang dimakan mentah-mentah.

Lucas kembali menarikku untuk lebih mendekat pada tumbuhan tersebut. Tangannya tampak menunjuk. "Ini lilia. Kami para siren kadang makan juga. Lilia sangat bagus untuk kesehatan, apalagi penyembuhan," jelasnya.

"Mau coba?" Lucas mengambil beberapa seperti sedang memetik buah stroberi. Dia memakannya dengan nyaman hingga membuatku segan kalau tidak mencoba.

Saat makanan itu masuk ke mulut, rasanya manis dan segar sekali, mirip madu.

"Kau menyukainya?" tanya Lucas.

Aku mengangguk. "Ini enak."

Wajahnya gembira. "Ayo, kita cari yang sedikit lebih muda. Biasanya terasa lebih segar." Lucas sudah bergerak di depan, kuikuti dia dengan berjalan kaki. Namun, sekonyong-konyong tubuhku terasa seperti disambar sesuatu. Sakit. Rasanya sakit sekali.

"Nah, kau coba yang ini." Suara Lucas terdengar entah dari mana. Tubuhku tanpa kusadari sudah tergeletak mengenaskan di atas pasir.

"Maureen!" Suara panik itu milik Lucas. Ada gerakan air yang mendekat. Suhu di sini terasa sangat dingin. Aku mendongak untuk mendapati keberadaan Lucas. Pemuda siren tersebut menggapaiku dengan cepat.

"Kita harus pergi ke tempat Bibi Deana, dia bisa mengobatimu," ujarnya seolah dapat membaca isi pikiranku.

"M-Maureen?" tanyanya dengan nada terkejut. "Tubuhmu mengecil."

To be continued.
1032 word.

Underwater World: Gate of Berry Head ArchWo Geschichten leben. Entdecke jetzt