Bab 1

97.7K 3.8K 88
                                    

“Ning! Ning! Bangun, Ning!” Lasmini mengguncang-guncang badanku, rasanya seperti gempa 7,0 SR.

Lasmini—gadis berkulit sawo matang khas Lombok dengan tinggi hampir sama sepertiku—dia teman dekatku dari awal masuk pesantren ini. Dia asli Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Meskipun orang Lombok, Lasmini lembut, tidak pedas, juga tidak suka makan makanan pedas. Mungkin Lasmini Lombok KTP saja.
Aku menggeliat, menguap, dan kentut. Bukk!!! Badanku ditimpuk bantal oleh Lasmini.

“Apa sih, Ni?” tanyaku kesal karena Lasmini mengganggu tidur cantikku.
Karena namanya Lasmini, jadi biasa dipanggil “Ini” oleh semua santri. Memang karena itu ulahku juga yang memanggilnya begitu. Supaya apa? Supaya kalau ada yang minta tolong jadi begini. “Ini minta tolong dong, ini semua dimasukkan ke sini, ini dimasukkan ke dalam lemari, ini yang ini ni, dibuang ke tong sampah, supaya tempat ini ni jadi bersih seperti kamarnya Ini.” Ribetkan?
“Apa, apa?! Liat jam dong! Kamu kenapa nggak bangun shalat Tahajjud?!” omel Lasmini padaku.

Aku terkesiap, langsung bangun dari tempat tidur setelah melihat jam pukul 04:55. Lima menit lagi adzan Subuh.
“Kebo mana bisa bangun kalo cuma denger bel,” sambut Citra dari ambang pintu.

Citra—gadis sipit, lebih tinggi beberapa senti dariku—juga teman dekatku, sama seperti Lasmini. Dia asal Jakarta. Aku biasa memanggilnya Cicit. Tapi kenapa, ya? Aku lupa kenapa aku memanggilnya begitu.

“Kalian kenapa ndak bangunin aku dari tadi?”

“Sudah kok! kamunya aja yang kalo dibangunkan bilangnya nanti terus. Ambil wudhu sana!” perintah Lasmini.

“Cepet! Bentar lagi adzan, nanti Ustadzah ngontrol” sambut Citra lagi, sengaja saja dia menjadi kompor, membuat panas keadaan.

Aku menghentakkan kakiku dengan keras persis di samping Citra sebagai bukti bahwa aku sangat kesal padanya. Citra menyenggol lenganku.

Aku dan Citra memiliki banyak kesamaan, sama-sama tukang usil di kelas, sama-sama tukang tidur di kelas, sama-sama sering bolos shalat berjama'ah, sama-sama sering melanggar bahasa, sama-sama sering kabur belanja keluar pondok dan mungkin nanti akan sama-sama di surga.

Berbeda dengan Lasmini yang selalu takut melakukan sesuatu, selalu membuatku dan Citra merasa bersalah di depannya. Kalau Lasmini sudah marah, kata-kata seperti ini yang akan keluar, “Kasihan orangtua kita di rumah, mereka sudah membiayai sekolah kita, kalo kita nakal terus, bagaimana dengan mimpi mereka yang ingin melihat kita menjadi anak yang sukses?”

Aku berlari di lorong-lorong kamar menuju masjid, memerhatikan kiri-kanan jika ada ustadzah yang mengontrol. Mirip seperti maling di waktu Subuh. Aku menyelinap dari depan WC. Basanya itu jalan paling sepi untuk ke Midha’ah¹.

“Dari mana?” Seseorang tiba-tiba dengan tegas bertanya padaku. Deg! Itu adalah ustadzah bagian keamanan yang baru keluar dari hammam².

Aku menyeringai. “Dari hammam, Ustadzah,” jawabku berusaha agar mudah dipercaya .

“Benar!?” tanyanya galak untuk memastikan. Aku menelan ludah, menunduk, dan mengangguk.

“Na'am³, Ustadzah.”

“Toyyib, tasaro'i, laa tata-akhori!”⁴ katanya kemudian berlalu. Aku mengelus dada. Aman, batinku.

Itulah Ustadzah bagian keamanan yang mengontrol segala macam kegiatan santri, dan seperti itu tadi, terlambat berangkat menuju masjid saja bisa menjadi masalah yang serius. Karena di pesantren, kedisiplinan adalah yang paling utama, dan pesantren selalu mengajarkan seberapa berharganya waktu.


Note:
¹Tempat wudhu ²kamar mandi ³iya ⁴baiklah, cepat! Jangan terlambat!

Akad Rahasia ✅ [SUDAH TERBIT]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ