Us

1.5K 212 16
                                    

(Click the play button on the YouTube link 👆)

...

[ 26 days ago ]

Kilauan oranye di atas sekumpulan air; petang yang cantik. Mikasa sebenarnya hanya ingin duduk santai saja di pinggir danau, tak jauh dari istana Marley. Sekadar memandangi bunga teratai yang mengambang di atasnya, atau mendengarkan suara saling bersahutan para katak. Tetapi kedua kaki Mikasa terasa gatal. Ia malah menendang beberapa batu berukuran sedang sejauh mungkin hingga perairan yang tenang, mulai bergelombang.

"Tch!" Kesal sekali rasanya. Satu sisi, Mikasa merasa menjadi manusia paling menyedihkan di muka bumi. Menyukai seorang pria mati-matian di zaman yang tidak menyenangkan, ternyata sangat menyebalkan. Sebab ada banyak hal yang jauh lebih penting ketimbang hanya mengurusi hati. Sialnya, luka dalam hati Mikasa mampu mengacaukan banyak hal penting, termasuk cara bersikap.

"Hei! Kau tahu tidak danau ini sangat di sukai Lord Amory? Jangan sembarangan merusaknya!" Seorang pria berbaju tentara menghampiri Mikasa. Sontak rautnya berubah ketakutan tatkala menyadari ia baru saja memarahi perempuan berambut hitam, yang disebut-sebut seorang Ackerman.

Mikasa mencengkeram lengan pria tersebut keras-keras. Sangat keras, hingga sang tentara berteriak kesakitan. Tulangnya mungkin akan segera patah, kalau saja Levi tidak datang dan meraih lengan Mikasa seraya melepas cengkeraman kuatnya pelan-pelan. "Hentikan, Mikasa. Bukankah kau sendiri yang bilang untuk tetap tenang?"

Kedua netra kelam Mikasa bergetar. Lengannya melemah. Ia kesulitan mengendalikan emosi jika bersangkutan dengan Eren, itu yang Levi tahu. Mungkin terjadi sesuatu di antara mereka?

"Maaf," ucap Mikasa pelan. Raut bengisnya berubah pilu.

Levi menghela napas berat. Ia tidak menemukan cara tepat untuk menghibur Mikasa dari apa pun yang merundung benaknya. Mungkin Mikasa butuh waktu sendiri? Levi memutuskan tidak mengajaknya pulang, melainkan membebaskan ia pergi ke tempat-tempat tenang, dan memeringati untuk tidak lupa diri. Maka dari itu, Levi tak mengerti tatkala Mikasa memilih untuk kembali ke rumah sepetak mereka. Barangkali Mikasa berniat membunuh waktu hanya dengan melamun sepanjang hari? Bisa jadi.

Seraya Mikasa mengikuti langkah Levi dari belakang, ia terkejut mendapati baju putih yang Levi kenakan memerah di bagian pinggang belakang. "Heichou, pinggangmu—" Luka cukup dalam tatkala menolong Mikasa beberapa hari lalu pasti belum sembuh total. Ia kembali merasa bersalah.

"Tidak apa-apa. Tidak usah dipikirkan."

"Tidak! Aku akan mengobatinya."

Ya, benar. Ada banyak hal penting yang perlu Mikasa lakukan. Lupakanlah bayang-bayang kebersamaan Eren dan Annie. Lagipula, Mikasa seharusnya sudah tahu. Sejak dulu, mereka memang saling mencintai. Mikasa hanya terlalu keras kepala untuk mengakui. Ia malah diam-diam berharap Eren akan menoleh kearahnya suatu hari nanti.

Di ruangan berisi tiga kasur, tiga kursi, dan satu meja, Levi membuka bajunya, memperlihatkan syal berwarna merah tua yang membalut area luka. Mikasa tak paham, mengapa Levi tidak membuka atau menggantinya dengan perban baru? Perihal Levi menyukai hal bersih adalah rahasia umum. Untuk apa ia memakai benda kotor terlalu lama?

Lukanya sudah mulai menutup. Hanya ada beberapa bagian masih basah. Tergesek sedikit saja akan kembali mengeluarkan darah. Mikasa mensterilkannya dengan alkohol, sebelum ia mengoleskan obat, lantas menutupnya kembali dengan perban putih yang ia dapat dari Mrs. Jaeger beberapa hari lalu.

"Terima kasih," ucap Levi, tidak serta merta menatap Mikasa. Perempuan itu membisu, masih setia terdiam di belakang punggung Levi, entah sedang memikirkan apa.

In The End (HIATUS)Where stories live. Discover now