Intermezzo • Ketika Mereka Berkata...

Comenzar desde el principio
                                    

Dan lagi-lagi, ini hanya karena ucapan sampah orang-orang kurang kerjaan.

"Kenapa kamu nyalahin diri kamu sendiri terus?"

"Ya karena aku emang salah!"

Clara hampir gak pernah berbicara dengan nada tinggi. Dia selalu berbicara dengan suara lembut dan sarat akan keceriaan. Tapi saat dia ada di titik terlemahnya seperti sekarang, intonasi suaranya akan meninggi sampai urat lehernya kelihatan.

Karena omongan orang, Clara mengidap Bipolar Syndrome level 3. Moodnya berantakan. Di suatu waktu dia bisa menjadi manusia yang paling bahagia. Di suatu waktu dia bisa tertawa lepas seperti gak punya beban. Tapi di suatu waktu pula, dia akan berteriak frustasi dengan air mata yang mengalir deras pada pipinya, menangis kencang seolah-olah gak ada yang bisa dia lakuin selain itu.

Hanya karena omongan orang.

Semenjak itu, gue jadi lebih berhati-hati dalam berucap. Mengurangi atensi gue pada orang-orang yang hobby membicarakan keburukan orang lain. Menarik diri gue jauh-jauh dari mereka karena orang seperti mereka cuma sampah masyarakat.

Bukannya sok bener, justru gue mau hidup gue jadi bener. Dengan gak merebut hak orang lain untuk bahagia. Dengan gak mengurusi apa yang bukan menjadi urusan gue, karena ya percuma, cuma buang-buang waktu.

"Kalo ada orang yang bicarain keburukan lo, respon lo gimana?"

Gue menatap cewek bercardigan cokelat yang duduk di samping gue. Rambutnya berterbangan karena tertiup angin. Dan dengan begitu gue bisa mencium aroma apel yang menguar dari rambutnya.

"Biasa aja."

"Hah?"

Dia tiba-tiba aja menoleh dengan senyum tipis yang menempel di bibirnya. Dari jarak sedeket ini gue bersumpah kalau dia terlihat manis banget.

"Respon gue biasa aja."

"Gak sedih? Kesel gitu?"

Dia kembali mengalihkan pandangannya pada hamparan rumah-rumah yang berada di bawah sana. Senyum tipis itu belum hilang dari bibirnya, dan gue pun masih betah menatap profil sampingnya.

"Sedih sih dikit, kesel enggak."

"Itu namanya gak biasa aja."

"Biasa aja kok. Gue sedih bukan karena mereka ngomongin keburukan gue, tapi sedih karena ternyata gue belum bisa jadi baik buat orang-orang. Dan orang lain yang lebih sadar akan hal itu daripada diri gue sendiri."

Belum jadi baik.

Heran deh gue. Gimana sih standar baik buat orang-orang tuh? Atau mereka cuna asal ucap aja? Tapi biar apa? Biar mereka jadi dilihat yang paling bener gitu? Apa mereka gak mikir kalau dengan begitu justru mereka yang nunjukkin keburukannya?

"Setiap orang punya standar baik mereka masing-masing, Adriel."

"Terus standar baik menurut lo gimana?"

Dia gak langsung menjawab. Terlihat seperti sedang berpikir untuk beberapa detik sebelum akhirnya menjawab, "Gue gak punya."

"Kenapa?"

"Semua orang itu sebenernya baik. Gak ada orang yang bener-bener jahat atau buruk di dunia ini. Tergantung kita ngeliatnya dari sisi mana."

"Bahkan seorang koruptor sekali pun, pasti punya sisi baik. Mungkin mereka ngelakuin itu buat ngebahagiain keluarganya, gak mau anak istrinya hidup susah, cuma mereka ngambil cara yang salah, dan orang-orang akan tetap memandang mereka sebagai penjahat meski pada awalnya niat mereka baik."

Kali ini gue yang dibuat terdiam mendengar ucapannya. Gue gak menyangka kalau cewek sedingin dan sejutek Lunadya Valery punya pikiran sepositif ini.

Dia bener-bener gak terduga.

Tacenda [Republish]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora