13. Datang Kembali

11.4K 1.2K 73
                                    

"Halo Melodi."

Tubuh Melodi menegang.

"Sayang?"

Melodi masih tetap diam. Tidak menanggapi ucapan wanita berumur yang menggunakan dress merah di bawah lutut. Lipstik merah pekatnya menambah kesan berani di wajahnya. Namun di mata Melodi wanita itu tetap mengerikan seperti dulu.

Sepuluh tahun tidak mampu membuatnya lupa akan wajah wanita itu. Selama ini, bukannya semakin lupa, rupanya justru semakin tersimpan jelas di kepalanya. Membuatnya ketakutan tiap kali mengingat.

Melodi menyembunyikan wajahnya dibalik punggung Aditya enggan menatap. Cengkraman di bahu pria itu kian menguat sewaktu wanita itu semakin mendekat.

"Kamu tidak mau menjawab sapaan Mama?" tanya Niken. Nama wanita itu.

Mama? Kenapa wanita itu berani sekali menyebut dirinya mama di hadapannya?  Tidak pernah ada kata mama untuk Niken bagi Melodi.

"Odi cuma punya satu Mama, secantik bidadari sebaik malaikat, sekarang nginep di surga. Lo siapa?"

Niken mengeraskan rahang mendengar perkataan Melodi. Dia seketika menahan nafas berusaha mengendalikan dirinya. "Kamu ternyata masih sama." Dia terkekeh. "Anak tidak sopan."

Melodi terdiam. Netranya menatap tajam Niken. "Memang."

"Sepertinya Anda membutuhkan privasi dengan Melodi." Wira menginterupsi. dia tahu situasi ini akan semakin keruh. 

Niken melirik Melodi. "Ya, saya harus bicara empat mata dengan anak ini." 


***


Kini di dalam ruangan Wira hanya ada Melodi dan Niken. Melodi melangkahkan kaki menuju meja kerja Wira lalu duduk di kursi yang menjadi kesukaannya bila bermain di sini. Selain besar dan empuk, kursi ini juga terlihat nyaman untuk tidur.

"Bagaimana Melodi?" Niken mengawali pembicaraan. "Hidup di dalam rumah sakit jiwa. Menyenangkan?"

Melodi bergumam serupa bisik, "Lebih menyenangkan dari yang lo pikir."

Niken tertawa kecil. Wanita itu duduk di sofa tunggal. "Mama enggak tau apa aja yang kamu lakukan selama di sini sampai berbicara saja tidak sopan."

Melodi membuka mata. Dia impulsif dengan mengambil pensil yang ada di atas meja lalu melemparkannya ke arah Niken. Meski tidak sampai mengenai tetapi suaranya mampu membuat wanita itu terperanjat. 

"Lo budeg? Apa pikun? Mak lampir enggak pernah bisa gantiin bidadari. Lo enggak akan pernah jadi mama buat Melodi. Lo cuma orang asing, enggak ada alasan buat sopan sama lo!" 

Melodi selalu senang bila mengingat Febina-mamanya. Senyum hangat yang selalu hadir di wajah cantik Febina tidak pernah Melodi lupakan. Dia terlampau senang hingga saat ini masih bisa ingat segala hal tentangnya.

Namun Melodi benci bila mengingat kehangatan Febina bersamaan dengan bagaimana cara wanita itu meninggal. Terlebih penyebabnya selalu membuat dirinya tidak berdaya, sejak dulu hingga sekarang.

Love in PsychiatricalDove le storie prendono vita. Scoprilo ora