24

2.6K 111 0
                                    

Setelah makan malam berakhir, aku dan Axel duduk di kursi yang berada di halaman rumahku dekat dinding pembatas rumah tetangga di bawah pohon mangga.

Axel sedang memain-mainkan jariku sambil bersenandung kecil, aku menikmati suaranya yang memang tidak terlalu merdu tapi juga tidak buruk.

"Ax?"

Axel hanya berdeham kecil tanpa melihatku. Aku diam.

"Kenapa?" tanyanya beberapa detik kemudian, kali ini sambil menatapku.

"Umm... Kamu... " aku tergagap.

"Kenapa?" Axel menatapku lembut.

"Kamu, umm udah minta maaf sama Mama mu?" tanyaku hati-hati. Aku takut Axel akan marah karena aku tahu bahasan ini tidak pernah Axel sukai.

"Udah."

"Terus?"

"Yagitu,"

"Jangan bete, yaudah ganti topik aja deh." ucapku buru-buru kemudian mencib tersenyum selebar mungkin. Sedikitnya ada rasa kecewa saat aku gagal kembali membuat Axel terbuka padaku.

"Setelah acara di rumah Oma, aku baru ketemu Mama Minggu kemarin." ucap Axel tanpa menunjukkan raut kesedihan.

"Kok bisa?" tanyaku dengan nada yang terkejut, bisa dibilang tidak biasa dan terdengar sedikit lebay.

Axel terkekeh pelan sambil mengacak rambutku gemas. "Santai dong."

"Maaf deh,"

Axel hanya menanggapinya dengan senyuman.

Selang beberapa menit Axel mulai berbicara lagi, "Sebenarnya ada atau nggak ada orang tuaku rasanya sama aja." ucap Axel, dia sama sekali tidak tampak sedih.

"Nggak boleh ngomong gitu. Mau bagaimanapun mereka orang tua kamu."

"Masalahnya mereka hanya berpikir jika yang aku butuhkan cuma uang, seakan hidup mereka itu cuma untuk uang, padahal aku butuh mereka disampingku, bahkan untuk makan malam saja mereka tidak sempat."

Aku mengusap punggung Axel lembut kemudian menggenggamnya, mencoba untuk memberikan sedikit kekuatan.

"Kata orang hidupku sempurna, tapi kamu tahu, kan? Hidupku nggak sebahagia yang mereka pikir." Axel terkekeh sumbang, hal tersebut membuatku merasa miris. Aku sedih melihat Axel-ku seperti ini.

"Tapi kamu harus selalu bersyukur karena masih punya orang tua yang lengkap, masih bisa melihat dan menyentuh mereka secara nyata. Kamu harus ingat itu."

"Hubunganku sama mereka memang nggak seharmonis keluarga lain, kamu tahu nggak berapa kali aku makan malam sama mereka?"

Aku hanya diam sambil menatapnya, mataku terasa panas membayangkan bagaimana Axel yang selama ini terlihat bahagia dengan segala usahanya untuk membuatku tersenyum.

"Cuma dua belas kali seumur hidupku." ucap Axel sambil tersenyum.

Axel bahkan sampai sebegitunya menghitung berapa kali dia pernah makan malam bersama keluarganya, air mataku sudah menetes ke pipiku, aku benci dengan diriku, seharusnya aku bisa menahannya, seharusnya aku bisa memberikan aura positif untuk Axel, tapi sialnya aku selalu menangis dengan hal-hal seperti ini.

"Ax... jangan benci orang tua kamu," ucapku begitu lirih.

Axel tersenyum kemudian menggeleng, tangannya menghapus air mataku.

"Nggak akan pernah, aku selalu sayang sama mereka. Juga selalu sayang pacarku yang cengeng ini." Axel menarik hidungku yang mungkin sudah memerah, tindakannya barusan membuatku semakin sesegukan, kenapa sih dia bisa sekuat ini.

Cracked [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang