Mendengar hal itu darinya sudah lebih dari cukup untuk membuatku semakin frustrasi. Jari-jariku bertambah erat dalam genggaman tanganku. Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana ketika berhadapan dengannya nanti.

Mengapa harus dia?! Mengapa Reaper sialan itu harus dia?! Aku harus bagaimana?!

Tepukan lembut kali ini mendarat di kepalaku. Aku pun terkejut karenanya.

"Berhentilah bersikap seolah dunia akan hancur. Kau tidak boleh menunjukkan wajah seperti itu di depan Erika. Setidaknya bersikaplah seperti biasanya. Dia akan merasa bersalah jika kau bersikap aneh setelah apa yang terjadi hari ini," kata Andy yang kembali mengisap rokoknya seperti tidak terjadi apa-apa.

Dahiku berkerut karena emosi yang kurasakan saat ini. Kebingungan yang membuatku seperti orang bodoh.

"Aku benar-benar tidak tahu harus bersikap bagaimana, Andy. Aku tidak tahu apa-apa mengenai dirinya. Ia menghilang tepat dua hari setelah kematian kakaknya dan tidak pernah bisa ditemukan selama bertahun-tahun. Ketika kembali, ia muncul seperti tidak pernah pergi sebelumnya. Tidak ada yang berubah darinya. Tapi setelah apa yang terjadi hari ini, aku baru sadar kalau aku berada sangat jauh darinya. Aku takut suatu hari nanti dia akan menghilang kembali seperti dulu karena aku tidak tahu apa pun mengenai dirinya."

"Tetaplah di sampingnya hingga akhir. Hanya itu yang perlu kau lakukan. Tidak banyak orang yang tahu mengenai kepergiannya tujuh tahun lalu, tapi aku yakin suatu hari ia akan memberitahumu. Erika punya alasan yang sangat kuat akan hal itu dan kurasa kau lebih baik mendengarnya langsung darinya, bukan dariku atau dari orang lain," ujarnya sambil menatapku.

"Kau tahu apa yang terjadi pada Erika dan kau juga tahu kalau dia adalah Reaper?" tanyaku. Pertanyaan itu seharusnya sudah kutanyakan dari tadi, tetapi baru terpikir sekarang.

"Begitulah," ujar pria paruh baya yang berada di sampingku seraya memalingkan wajahnya dan bersikap sok keren.

"Bukankah seha—,"

Ucapanku terpotong ketika pintu ruangan yang sejak beberapa jam tadi tertutup kini terbuka bersamaan dengan keluarnya dua orang.

Wajah Erika dan salah satu petugas yang membawanya ke sini tadi terlihat kelelahan. Bukan ketegangan atau suasana yang tidak mengenakkan, melainkan suasana bersahabat dan akrab antara gadis itu dengan si petugas yang terasa janggal.

Petugas itu akhirnya meninggalkan Erika bersama kami berdua setelah menyapa kami. Erika enggan melihat ke arahku. Rasa canggung dan takut terlihat sangat jelas di wajahnya. Aku tidak mengerti mengapa ia seperti itu, padahal beberapa detik yang lalu wajahnya masih terkesan normal saja. Tangan kanannya terus saja mengelus tangan kirinya dengan sikap yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

"Itu... Maaf tidak memberitahumu sejak awal, Dasthan," ucap Erika dengan suara pelan dan takut-takut.

Ada apa dengannya? Kenapa ia bersikap seperti merasa bersalah?

"Berhentilah menunjukkan wajah jelekmu itu, Erika," ujar Andy yang entah sejak kapan sudah berada di samping Erika. Ia lalu merangkul bahu gadis itu seolah mereka sudah saling kenal sejak lama sekali.

"Sudah kubilang jangan bersikap sok akrab denganku seperti itu, Paman!" seru Erika dengan suara keras seraya memukul tangan Andy agar menjauh dari bahu kecilnya.

"Kau jahat sekali, Erika." ujar Andy mengelus tangannya yang terkena pukulan dari Erika. Tapi pria aneh itu tetap tersenyum seolah baru memenangkan lotre.

"Kurasa kau bisa menjelaskannya nanti di rumah saja. Kau berhutang banyak cerita padanya, Erika. Jadi, pulanglah dan selesaikan urusan kalian," sambung Andy yang mendorong Erika ke arahku hingga gadis itu menabrakku.

REAPER (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now