Bagian I: Chapter 9

Start from the beginning
                                    

Tubuh gadis itu berjalan sempoyongan membuat wanita tua itu khawatir. Ia membantu Gendhis berjalan tapi karena tidak mengonsumsi apapun selama tiga hari, tubuh Gendhis kalah membuatnya terjatuh di atas lantai tanah. 

"Jangan keras kepala, beristirahat saja dulu, Dedhes ambil makanan untuk anak ini." Akhirnya pria itu gantian membopong Gendhis menuju ranjang kayu yang ditempatinya tadi. Gendhis baru sadar, tidak ada springbed hanya sebuah tikar anyaman daun lontar menjadi alasnya tidur.

"Barang-barang saya dimana, ya, Pak? Saya mau menghubungi keluarga saya segera."

"Apa yang kamu maksud pakaian dan ...." 

"Iya itu."

Pria yang Gendhis tak tahu namanya itu mengambil pakaian Gendhis dari dalam lemari kayu kecil di ujung ruangan. Di atasnya terdapat jam tangan, ponsel serta headset. Setidaknya Gendhis bersyukur kedua orang tua itu tidak menjual barang-barangnya meskipun tinggal di gubuk reyot seperti ini. 

Tak lupa mengucapkan terimakasih Gendhis segera mengecek ponselnya. Tak ada pesan atau telepon masuk, ia melihat layar ponsel yang menunjukkan pukul tujuh pagi dengan tanggal yang sama. Aneh, apa mungkin rusak karena kemasukan air ya? Gendhis melihat jam tangannya yang menujukkan jam yang sama yakni jam tujuh. Sesekali ia memukul benda itu berharap jarum-jarum itu bergerak. Napas panjang dihembuskannya, padahal ia membeli jam tangan yang water resistance tapi masih saja rusak. Tapi yang menyebalkannya lagi tak ada jaringan! Kalau sudah begini bagaimana cara Gendhis menghubungi keluarganya!

Wanita tua tadi membawa sepiring makanan sederhana, nasi dan ikan rebus yang langsung disantap Gendhis tanpa henti.

"Nak? Boleh ibu bertanya sesuatu?" Gendhis yang masih menyantap makananya lahap mengangguk.

"Sebenarnya kamu siapa?" kini giliran suaminya yang bertanya. Gendhis sempat berhenti makan sejenak bingung akan pertanyaan barusan. Ia mengusap bibirnya yang belepotan kemudian mengulurkan tangannya yang masih kotor.

"Maaf saya lupa mengenalkan diri. Nama saya Gendhis, Gendhis Ayu Candra, putri seorang anggota Komisi II DPR RI. Mungkin bapak sama ibu bisa bantu saya ke kantor polisi terdekat, saya janji orang tua saya akan memberi rewards yang setimpal."

Pasangan itu lagi-lagi saling menatap, "Maaf tapi kami tidak mengerti apa yang kamu maksud." Giliran Gendhis yang bingung sekarang. Bukankah ia sudah sangat jelas mengatakan apa tadi? Gendhis rasa ia sudah berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

"Maksud saya, boleh saya minta tolong bapak atau ibu mengantarkan saya ke kantor polisi terdekat?"

"Apa itu kantor polisi?" tanya sang wanita dengan kebingungan. Pria di sampingnya juga mengangguk tanda setuju akan pertanyaan istrinya barusan.

"Hah?" Gendhis melongo bingung mau menjawab bagaimana? Apakah ada bahasa lain selain polisi? Atau jangan-jangan Gendhis terdampar di daerah terisolir? Kepanikan mulai menyerang Gendhis kembali. 

"Po-polisi itu ... orang-orang yang menjaga keamanan lingkungan dan menangkap para penjahat? Bapak sama ibu tahu Tentara Negara Indonesia? atau mungkin sejenis pasukan-pasukan berseragam? Ah begini saja, boleh saya minta diantarkan ke kantor desa atau ketua RT/RW nya juga boleh." 

Pundak Gendhis meluruh tat kala kedua orang di depannya hanya menggeleng tak paham. Aduh, benar-benar pendidikan di Indonesia ini sangatlah tidak merata. Bahkan mereka saja tidak mengerti istilah-istilah dasar. Kalau begini bagaimana Indonesia mau maju kalau orang pinggirannya saja serasa tidak tinggal di Indonesia.

MADA (Complete)Where stories live. Discover now