Bagian I: Chapter 17

90.2K 11.3K 3.3K
                                    

Gendhis mengangkat tangannya untuk menutupi wajahnya yang panas. Ia menunggangi kuda yang sama dengan Mahapatih. Di depannya kereta kencana milik Hayam Wuruk pun berjalan dengan sangat elegan. Semua warga yang mereka lewati bersujud seketika. Gendhis merasa ini semua tidak perlu dilakukan. Dia bisa pulang sendiri tanpa melakukan semua kehebohan ini.

 Namun yang membuat Gendhis deg-degan sedari tadi adalah pria yang berada di belakangnya ini. Tubuh mereka cukup dekat hingga Gendhis bisa merasakan aura hangat yang terpancar dari pria itu. Tercium jelas aroma basil yang sejuk juga segar, aroma eksotis yang tak pernah Gendhis pikir akan terasa sangat cocok untuk seorang pria dewasa. 

Saat melewati padang rumput, ini pertama kali Gendhis melihat hamparan ribuan bunga yang begitu indah. Sepertinya ini jalur lain yang tidak pernah Gendhis lalui. Biasanya Gendhis selalu melewati ramainya desa. Dari atas sini Gendhis bisa melihat sungai besar dan kapal-kapal besar. Apakah itu pelabuhan Sungai Brantas? Ah, Gendhis membuat catatan pada dirinya sendiri untuk mampir ke sana jika ada waktu.

Gendhis menahan napasnya segera saat kuda yang mereka tumpangi mengangkat kedua kaki depannya lalu meringkik. Untungnya Mahapatih memegangi gadis di depannya cepat hingga Gendhis pun tidak terjatuh. Kereta kencana milik Maharaja berhenti dengan tiba-tiba. Dua pengawal kereta kencana itu mendorong seorang anak laki-laki yang menggendong adiknya yang masih bayi hingga terjatuh di tanah.

"HEI!" teriak Gendhis yang tidak terima.

Tanpa memperdulikan siapa yang duduk di belakangnya. Gendhis menepis tangan Mahapatih lalu melompat dari kuda tersebut. Kepala sang patih hanya bergerak mengikuti tubuh kecil itu yang berlari. Senyumnya mengembang saat melihat Gendhis yang mendorong dua tentaranya menjauh dari anak kecil yang terjerembab.

"Heh junaedi! jangan kasar-kasar, dong! Kan bisa minta geser nggak pake dorong-dorong!"

Hayam Wuruk memperhatikan Gendhis yang membantu anak laki-laki itu bangun. Ia menarik pengawalnya untuk menjauh. 

Gendhis membersihkan tubuh anak kecil itu dan mengangkat si bayi perempuan yang menangis. "Kau baik-baik saja?" Anak itu menangis memeluk kaki Gendhis membuat gadis itu pun tak tega melihatnya. 

"Aku lapar ... belum makan ...." ucapnya kemudian jatuh ke tanah tak sadarkan diri. Gendhis yang masih menenangkan anak bayi perempuan di tangannya di buat panik. Hayam Wuruk sudah ingin turun dari kencananya tapi terhenti saat Mahapatihnya sudah berdiri mengangkat anak yang pingsan itu.

Gajah Mada menunduk sedikit ke arah Hayam Wuruk. "Maafkan hamba Yang Mulia untuk tidak bisa megantar hingga ke gerbang istana. Hamba akan menangani anak-anak ini terlebih dahulu." 

Hayam Wuruk terlihat berpikir sejenak. Ia melihat Gendhis yang sibuk menenangkan bayi kecil itu. "Aku akan ikut dengamu."

"Yang Mulia ...."

"Kau masih belum belajar juga dari sifat keras kepalaku, Mada?" tanya Hayam Wuruk menggoda patihnya. Pria itu hanya membungkuk tidak membalas ucapan sang Maharaja. "Putar balik kereta! Kita kembali ke kediaman Mahapatih."

Gendhis bisa mendengar hembusan napas dari pria di sampingnya. Kakinya berjalan mengekori pria itu. Kini dia naik dengan kuda yang berbeda dengan Mahapatih. Gendhis melihat bayi yang digendongnya mulai terdiam. Wajahnya mengernyit, bayi itu kurus sekali dari bayi lainnya. Sudah berapa lama anak ini tidak diberi asi? Ck, ck, ck, ada-adaa saja hidup di jaman aneh ini.

Di kediaman Gajah Mada, Gendhis langsung merawat anak laki-laki itu saat pelayan wanita tua membantu gendhis menggendong si bayi perempuan. Mahapatih pun menyuruh pengawalnya untuk memanggil Mpu Gading segera. Sambil menunggu rama, Gendhis mengompres dahi anak itu dengan air hangat. Tak lupa dia mengusap tangan dan kaki anak itu yang sangat kotor. Luka kering di kaki anak itu membuktikan jika dia telah berjalan jauh tanpa pelindung kaki. Setelah membersihkannya kini Gendhis ganti memberikan kompres di lipatan ketiak juga lipatan kaki anak tersebut.

"Ibu ... Ibu ...."

Gendhis menenangkan anak itu kembali saat mengigau. Saat dirasa sudah tenang ia mengambil si bayi kecil dan menggantikan wanita tua itu menyuapinya dengan entah air apa itu. Padahal di jaman modern, Gendhis sama sekali tidak bisa dekat dengan anak kecil. Justru sepupunya, Mbak Lastrilah yang lebih aktif dalam membantu perempuan juga anak-anak kurang beruntung. Sekrang rasanya, di dalam diri Gendhis terdapat panggilan yang sama untuk melakukan hal yang sama.

Meskipun tidak bisa mengubah nasib mereka tapi dengan sedikit bantuan setidaknya Gendhis sudah berkontribusi mengurangi derita yang mereka rasakan.

"Aku akan mengangkat kedua anak itu sebagai anakku."

Gendhis yang masih menyuapi si bayi kecil terkejut mendengar suara berat yang berasal dari belakang. Saat ia menoleh, di sana berdiri sang patih dengan dua tangan yang bertaut di balik punggungnya. 

"Yang Mulia?"

Gajah Mada berjalan menatap bunga-bunga di tamannya yang mulai bermekaran. Di belakangnya Gendhis masih menunggu penjelasan pria itu. "Aku memintamu untuk menjadi pengasuh mereka. Datanglah ke kediaman ini setiap hari untuk mengurus kedua anak itu. Ini adalah perintah." Kalimat terkahir itu sudah menjadi ketuk palu tersendiri. Gendhis tidak bisa lagi menolak. Sabar Gendhis, pasti ada alasan tersendiri untuk Mahapatih mengangkat kedua anak itu. 

"Dan masuklah, Maharaja ingin berbicara denganmu." 

"Maharaja?"

Gajah Mada tidak memperdulikan pertanyaan kaget dari Gendhis. Pria itu melengos pergi entah kemana. Setelah memberikan bayi kecil itu pada pelayan lain Gandhis merapikan pakainnya untuk kembali bertemu dengan Maharaja. Kali ini apa lagi yang ingin dibicarakan Hayam Wuruk? Di dalam ruangan luas itu Hayam Wuruk sudah menunggu kedaangan Gendhis. 

"Langsung saja, kau sebenarnya siapa?"

Gendhis sedikit tidak siap akan pertanyaan tiba-tiba itu. "Hamba adalah putri dari Mpu Gading, Yang Mulia. Putri angkat lebih tepatnya," jawab Gendhis.

"Sebelumnya kau berasal dari mana?"

"Eng ... dari ...." Gendhis tidak yakin mau menjawab apa, dia tidak tahu nama-nama kota di Majapahit. Apakah nama Yogyakarta sudah ada saat ini? Oh iya, Gendhis teringat jika Ra Pangsa yang akan dibuang ke Doha! "Hamba berasal dari Doha, Yang Mulia." Entah dimana itu Doha yang penting kesebut duluan saja oleh Gendhis.

Hayam Wuruk menganggukkan kepalanya paham. Tapi tetap masih banyak hal menjanggal dari gadis di depannya itu. Seperti yang Gajah Mada katakan, gadis itu terlalu pandai untuk kalangan sudra. Apakah perlu ia mencoba untuk mengusik harga diri gadis itu agar bisa mendapatkan informasi yang seperti patihnya katakan? "Mengapa kau menolak uang tutup mulut dari Dyah Gatri? Bukankah tujuh ratus koin itu sangat banyak untuk orang sepertimu?"

Benar kata Gajah Mada, lihatlah gadis itu sekarang. Alisnya bertatut menujukkan rasa tidak sukanya. "Maaf Yang Mulia, maaf jika hamba lancang menagatakan ini tapi harga nyawa seorang ibu tidak bisa digantikan oleh apapun bahkan itu jutaan koin emas sekalipun. Jika Yang Mulia tahu, ada sebuah tembang lama yang mengabadikan seorang kasih sayang ibu."

Gendhis berdehem untuk mulai bernyanyi.

Kasih Ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya Memberi
Tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia~

Hayam Wuruk melongo tak percaya, matanya membulat melihat gadis itu. Tubuhnya bergetar hebat seakan sedang melihat sesuatu yang mengerikan. Ia merangsek menuju Gendhis. Sang Maharaja terduduk dilantai menggenggam tangan Gendhis dengan erat. Gendhis yang juga terkejut langsung meundur tapi kembali ditarik oleh Hayam Wuruk untuk mendekat.

"Yang Mulia, apa yang terjadi? Apa yang kau lakukan!" teriak Gendhis saat tiba-tiba Hayam Wuruk memeluknya erat.

"Bagaimana kalau aku bilang ... aku datang dari tahun 2018"

"APA!?"

*

Hayolohhhhhhhhhh

Kali ini 2000 votes sama 1500 komen biar aku bisa tidur dulu dua hari :')

Eh btw, kalian sudah liat insta storiku belum? Aku kasih sneak peek gambar Gendhis sama Mada itu lhoo hehe ^^

MADA (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang