Bagian I: Chapter 2

108K 13K 794
                                    

Gendhis ditemani sepupunya, Lastri, jalan-jalan mengelilingi kota Yogyakarta dengan motor matic. Mulai dari mengitari kampus Gadjah Mada hingga menyusuri Jalan Malioboro yang masih saja ramai padahal bukan hari lubur. Tujuan akhir mereka adalah menuju Grahatama Pustaka.

Grahatama Pustaka Yogyakarta merupakan salah satu gedung perpustakaan terbesar di Indonesia. Hampir semua buku tersedia, mulai dari keluaran terbaru hingga buku langka pun mereka punya. Dulu Gendhis sering dibawa oleh Kakung ke sini untuk membaca sambil bermain.

"Nggak ada bedanya dari lima tahun yang lalu ya, mbak?" tanya Gendhis melihat tatanan rak buku yang sama seperti dulu.

"Kamu nih baru pergi lima tahun aja udah kayak belasan tahu aja. Eh, tapi sekarang infrastuktur untuk penyandang disabilitas udah semakin maju, lho. Sekarang juga udah ada bioskop enam dimensinya juga."

"Oh ya? Dibuka untuk umum, mbak?"

"Ya enggak dong, untuk tujuan pembelajaran tetap dinomor satukan. Eh, kamu bisa tunggu di lantai dua ya. Acaranya di lantai satu. Perlu diantar nggak nih?"

Gendhis menggerling kesal meninggalkan Lastri yang tertawa di tempat. Ia menuju tangga naik ke lantai dua, tempat banyak bacaan bagus disembunyikan.

Kalau lantai satu didedikasikan untuk anak-anak. Di bawah sana sedang ada acara mendongeng untuk anak Indonesia. Acara tersebut dilaksanakan oleh Komnas HAM dan KPAI untuk meningkatkan minat baca anak usia dini. Maklum, Mbak Lastri juga salah satu penggiat Ham anak jadi dia senang mengikuti acara-acara seperti itu.

Kakinya membawa Gendhis ke sebuah rak buku sastra kontemporer. Senyumnya mengembang saat melihat satu rak penuh berisikan copy dari buku-buku karya keluarga Mada.

"Gila, men ... Semua genre novel sudah mereka tulis semua."

Karena kemarin sudah membaca buku milik Aramada biru, semakin membuat Gendhis penasaran ingin membaca semua buku itu. Satu per satu tangannya mengambil buku karangan Armada Biru.

Satu judul yang membuat Gendhis benar-benar tertarik bahkan sampai meletakkan empat tumpuk buku yang sudah diambilnya. Buku tersebut juga hanya bertengger sendirian, tidak ada copy-an lain.

"1001 Malam di Majapahit."

Bersamaan dengan tangan Gendhis yang terulur, sebuah tangan lain juga terulur untuk mengambil buku yang sama. Gendhis berjingkat kaget saat jemarinya bersentuhan dengan jari-jari itu, seperti tubuhnya teraliri listrik dengan cepat.

Gadis itu mendongak cepat kemudian seketika kepalanya terasa pusing dan sebuah adegan memori mengahntamnya.

Setelah sekian lama, Gendhis melihatnya lagi. Seorang gadis cantik itu sedang memainkan air sungai dengan kakinya. Hanya kemben dan jarik yang menyelimuti tubuh indahnya. Gadis itu mendongakkan wajahnya tat kala sinar matahari mulai naik menembus tebalnya dedaunan hutan.

Gadis itu adalah Gendhis tapi dengan cara berpakaian yang berbeda. Seperti ... Gendhis dari dimensi lain.


Terdengar suara aneh dari balik semak-semak membuat gadis itu berdiri dengan siaga.

"Siapa di sana? Ibu?" tanyanya dengan nada takut yang sangat kentara.

MADA (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang