Chap 11: Wawancara

1.7K 90 3
                                    

Seperti janji sebelumnya, mereka berkumpul di cafe Rose dekat sekolah. Karena letak yang strategis, cafe ini sangat digemari oleh anak-anak sekolah sebagai tempat melepas penat setelah pelajaran dan juga di sini free wi-fi. Pokoknya cocok buat pelajar. Namun Alexa yang notabene tidak mempunyai smartphone Android, tidak bisa merasakan enaknya wi-fi gratis.

Alexa meminum kopi Latte miliknya, tentu saja dengan meminjam uang Laras. Sepertinya hutang Alexa akan membengkak jika terlalu sering bersama Laras. Hanya dengan secangkir kecil begini dihargai empat puluh ribu. Memang sih, enak, tapi kan tidak menguras dompet juga. Satu kopi begini mencakup hidup Alexa selama dua hari, tau.

"Itu terjadi pada saat aku pulang kerja. Saat aku datang pun pintu rumah dalam keadaan tidak terkunci. Lalu sebuah kotak terdapat dit engah-tengah ruanganku. Jika yang membobol rumahku adalah pencuri, seharusnya mereka mengambil, bukan memberiku hadiah." Alexa mulai menceritakan kejadian kemarin, ia berusaha setenang mungkin dan mencoba tidak bergetar ketika membahasnya.

"Aku sedikit ketakutan. Fakta bahwa pintu ku tidak terkunci, lalu ada kotak bewarna merah dengan pita di atasnya. Sungguh, itu cantik sekali. Karena penasaran, aku membuka kotak itu perlahan, lalu..." Alexa tidak mampu melanjutkan lagi, ia tidak kuat membayangkan sebuah kepala dengan bibir terjahit. Parahnya lagi orang itu, baru saja ditemui sebelas jam sebelumnya.

Laras memeluk Alexa, mengusap punggungnya agar gadis itu tenang. Gadis itu merasa nyaman berada dalam pelukan Laras. Sungguh, apa yang Laras lakukan itu berhasil membuat Alexa tenang meski sejenak. Gadis itu meminum Latte-nya dengan napas memburu.

"Baiklah, hari ini cukup. Aku akan mengirimkan polisi di dekat rumahmu untuk berjaga-jaga," tutup Leon sembari bangkit dari duduk nyamannya.

Alexa mengikuti pergerakan Leon menggunakan ekor matanya, tunggu dulu. Polisi? Itu artinya ia harus membayar lagi? "Tidak perlu, aku tidak apa-apa," tolak Alexa lagi. Astaga, ia harus membayar berapa lagi.

Leon mendengus ketika gadis itu kembali menolak kebaikan seseorang. "jika yang kau khawatirkan itu uang, jangan khawatir. Aku tidak seperti gadis yang di sana."

Mendengar dirinya tengah disinggung, Laras tersedak oleh minumannya sendiri. Ia menatap jengkel pada Leon yang tengah merapikan kemeja sekolahnya, "hei, aku tidak memintanya. Alexa sendiri yang ingin membayar, aku harus bagaimana?" pertanyaan itu hanya dianggap angin lalu oleh Leon, lalu pria itu berjalan keluar melalui pintu dengan tulisan dorong tetapi bisa ditarik.

"Ayo pulang, menunggu apa?" Leon menoleh, tatapannya jatuh pada Alexa yang tengah tertawa melihat respon Laras akibat tuduhan Leon yang tidak berdasar.

Alexa ikut bangkit dari duduknya, benar juga ia harus pulang. Rumahnya tidak berpenghuni selama dua hari satu malam. Gadis itu keluar melalui pintu yang sama, namun gadis itu terbelalak ketika pintu mobil telah terbuka lebar di hadapannya. Tidak ingin ge-er, Alexa melewati Leon yang tengah berdiri di pintu mobil, persis seperti supir yang tengah menunggu sang majikan masuk.

"Apa yang kau lakukan?" Leon menginterupsi saat Alexa melewatinya begitu saja.

"Eh? Pulang," sahut Alexa. Ia merasa tidak melakukan kesalahan, lalu mengapa Leon memasang ekspresi kesal begitu.

"PULANG BERSAMAKU." yep, bagi sebagian manusia yang tidak peka semacam Alexa memang harus ditekankan kata-katanya agar mengerti.

Alexa tercenung sekejap, jadi Leon benar-benar akan mengantarnya. Jadi ini bukan Alexa yang kege-eran? "Eh? Kenapa?"

"Lo itu bisa aja jadi korban pembunuhan. Cepet masuk, udah mau maghrib." suruhan Leon hanya Alexa angguki, lagipula ia sudah lelah hari ini. Ia ingin segera pulang ke rumah dan istirahat.

The Jerk (Yandere)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang