2

587 96 15
                                    

Untuk kedua kalinya aku melukis wajah pelanggan yang sama dengan yang kemarin.

Wanita berhati sedih.

Ia menangis lagi.

Aku benar-benar penasaran dengannya. Mengapa ia menangis sampai dua hari seperti ini? Apa ia baru saja diputuskan oleh kekasihnya? Atau ia baru saja dipecat dari pekerjaannya?

Hanya saja aku tak berani untuk mengusik kehidupan orang lain. Aku takut mereka tersinggung jika saja aku ikut campur.

Tapi sungguh, aku tak bisa melihat orang bersedih.

Aku ingin menyeka air matanya. Pasti ia akan sangat terlihat cantik jika tersenyum.

Kondisinya kali ini lebih parah. Kantung matanya mulai membesar. Ditambah tatapannya begitu kosong meski air matanya tetap mengalir.

Mirip seperti mayat hidup.

Ia diam sampai lukisanku selesai.

Tak ada yang berbeda. Sama seperti kemarin, kubuat lengkungan senyum tanpa air mata dipipinya. Lebih seperti lukisan yang difotokopi.

Ia menatap sejenak lukisan yang kuserahkan padanya. Butuh waktu beberapa detik sampai akhirnya ia tersenyum getir.

Senyum itu kemudian berubah menjadi tatapan tajam yang ditujukan padaku.

Ada apa? Apa gambaranku ada yang salah?

"Kenapa? Kenapa kau melukisku seperti ini? Seperti kau membuat kopian yang kemarin"

Sudah kuduga. Tapi apa itu terlalu menjadi masalah sampai tatapan tajamnya belum juga pudar?

"Kenapa kau membuatku tersenyum dilukisanmu? Lalu, mana air mataku?"

Ah, rupanya itu.

"Kenapa kau diam saja?! Kau bisu?!"

Ya, aku memang bisu.

Ia terlihat begitu marah, dan cukup arogan dimataku. Apa mungkin itu hanya pengaruh kesedihannya saja?

Tidak, aku tidak boleh membalasnya kasar.

Kuambil secarik kertas dan menuliskan sesuatu disana.

Maaf jika kau tidak puas dengan lukisan buatanku. Akan kukembalikan uangmu yang kemarin jika kau tidak puas. Kelemahanku adalah tak bisa melukis wajah sedih.  Dan, ya, aku memang bisu. Sekali lagi maaf.

Dari ekspresi yang kutangkap, wanita itu sedikit terkejut dengan membentuk huruf O pada bibirnya.

Tatapan tajam tadi kini tergantikan dengan wajah sedikit bersalah.

"M-maafkan aku, aku tidak tau kalau kau.."

Ia memberiku selembar uang yang nominalnya cukup besar, tak sebanding dengan harga lukisanku.

Aku merogoh tasku, mencari uang kecil untuk dikembalikan padanya. Tak lupa juga dengan uang kembaliannya yang kemarin.

Aku segera menahan pergelangan tangannya ketika ia hendak pergi.

Ia kebingungan setelah kuberikan uang kembaliannya.

Tunggu, apa ia tak sayang dengan uang-uang yang dihamburkan itu terlalu banyak?

Ah, bukan. Apa ia tidak rugi dengan memberiku uang besar dan melupakan kembaliannya?

Atau memang ia tipikal orang yang melihat rakyat kecil langsung merasa ibah, dan tak mengambil kembaliannya itu hanyalah bentuk sedekahnya?

Bukannya apa, aku memang orang sederhana, yang juga bisa dikatakan rakyat kecil. Tapi ia tak boleh selalu berbuat seperti itu padaku? Apa lagi hanya untuk lukisanku yang tak setara dengan karya Leonardo da Vinci.

I CAN'T SAY I LOVE YOU - SEHUN (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang